Minggu, 03 Juni 2012

Riview Jurnal Hukum Ekonomi



Nama Kelompok :
  • Ade Irene Febri               (20210115)
  • Dimas Agung Prayogi    (22210019)
  • Levian                               (24210006)
  • Rezky Izhardhi N              (25210835)
  • Rina Rismawati               (25210972)

Kelas :  
2EB05



KOMPARASI BERBAGAI ALIRAN  HUKUM DAN EKONOMI : Suatu Kajian Filsafat Hukum
Erlyn Indarti *

Abstract
     Secara umum, kelahiran dan pertumbuhan hukum dan ekonomi didasarkan pada kontribusi yang diberikan oleh bagian hukum dan sisi ekonomi hukum dan ekonomi.sebagai perubahan menyapu tatanan masyarakat ilmiah bagian hukum dan ekonomi transformasi saksi signifikan dalam proses pembentukan,pemahaman,struktur dan institusi hukum memproduksi cukup banyak sekolah penelitian pengalaman di bidang filsafat hukum yang inti dari penelitian ini adalah perbandingan antara sekolah berbagai pengalaman perbandingan seperti itu akan memiliki kompetensi untuk mempersempit atau bahkan menjembatani kesenjangan antara sekolah bersaing pikiran dan meningkatkan upaya untuk menyelesaikan kompleksitas masalah hukum, dalam hukum dan ekonomi.

Kata Kunci : Filsafat Hukum, Hukum dan Ekonomi

Pendahuluan
     Secara umum dapat dikatakan, bidang kajian Hukum dan Ekonomi tumbuh dan berkembang melalui kontribusi yang diberikan 2 (dua) pihak, yakni yang pertama adalah "pihak hukum' dari Hukum dan Ekonomi, serta yang kedua adalah 'pihak ekonomi' dari Hukum dan Ekonomi. Dari 'pihak hukum', sumbangan utama yang diberikan adalah bentuk pemahaman terhadap hukum yang berubah dan berkembangsesuai dengan konteks ruang dan waktunya.
Sesungguhnya hukum dan ekonomi saling berinteraksi pada berbagai titik singgung. Implikasi dari kajian Hukum dan Ekonomi tidak hanya terbatas pada ilmu Hukum ataupun Ilmu Ekonomi semata, melainkan dapat pula meliputi berbagai disiplin yang baik secara langsung maupun tidak langsung berkepentingan dengan beragam aspek hukum, seperti Ilmu Politik dan Sosiologi.

Tinjauan Pustaka
     Dalam 4 dekade belakangan ini Hukum dan Ekonomi mulai bertunas sebagai kajian yang terpisah dan tersendiri, baik dalam Ilmu Hukum maupun Ilmu Hukum Ekonomi. Sebenarnya memang agak mengherankan, mengapa interaksi yang begitu nyata antara hukum dan ekonomi membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan pengakuan yang semestinya. Mungkin ini di sebabkan oleh sabagian pakar hukum yang mengagungkan independensi dan self sufficiency dari hukum; atau sebaliknya, sikap sementara ahli ekonomi yang mengedepankan independensi dan self sufficiency dari ekonomi.
     Salah satu sumbangan awal dari Ilmu Hukum bagi pengembangan kajian hukum dan Ekonomi berasal dari apa yang lazim disebut Common Law. Kehadiran Common Lawa merupakan buah dari reaksi terhadap pendekatan metafisikal terhadap hukum yang diusung oleh Aliran Filsafat Hukum Legak Theology maupun dari metode Ilmu Alam yang dikandung Natural Law.
     
Pengumpulan Data
     Penelitian ini merupakan Kajian Literatur. Dalam Hal ini, data penelitian di peroleh dari interaksi antara peneliti dengan para pemikir dan pakar hukum sesuai dengan Aliran Filsafat Hukum yang dianut, melalui pemikiran, pandangan, pendapat, atau pernyataanmereka sebagaimana dapat dibaca di berbagai literatur yang ada.

Pembahasan
Chicago School of Law and Ecomics
     Hukum dan Ekonomi bermula dari pemikiran Adam Smith atau Jeremy Betham. Kemudian, berpadunya hukum dan ekonomi secara lebih mantap, banyak ditentukan oleh interaksi antara paham realisme dan intitusionalisme pada dekade 1920-an dan 1930-an. Pada dekade 1960-an muncul apa yang disebut Aliran Chicago 'Baru'; namun demikian, perbedaan antara yang 'lama' dan 'baru' di dalam Aliran Chicagolebih merupakan 'dongeng' dari pada kenyataan.
     Secara sederhana bahkan dapat dikatakan bahwa Aliran Chicago ini menganggap sesuatu yang ‘tidak efisien’ sebagai sesuatu yang ‘salah’ atau melanggar hukum atau melawan hukum  atau unlawful/illegal. Menurut aliran hukum dan ekonomi aliran Chicago. Tujuan sentral dari pembuatan /pengambilan keputusan hukum semestinya. Dalam prakteknya, Aliran Chicago merasuki antara lain hukum antitrust, hukum tort, hukum kontrak  dan hukum lingkungan. Keseluruhannya kebanyakan dalam konteks common law.Kendati demikian, secara umum aplikasi pemikiran aliran Chicago dapat dikelompokan menjadi :

  1. Hukum dan Ekonomi ‘positif’ 
  2. Hukum dan Ekonomi ‘normatif’
     Aliran hukum dan Ekonomi Chicago yang positif pada umumnya melakukan analisa efisiensiterhadap common law. Dengan kata lain kajian yang dilakukan berkenaan dengan penilaian/pengukuran/pengujian tentang seberapa jauh common law yang ada dan berlaku sesuai dengan prinsip efisiensi ekonomi. Dalam hal ini common law dimengerti tidak semata-semata sebagi  ‘mekanisme penetapan harga’ yang dirancang untuk memastikan adanya alokasi sumberdaya yang efisien. Dengan kata lain yang normatif ini berkenaan dengan cara bagaimana membangun/membuat/membuat/menentukan ‘aturan hukum yang efisien’atau efficient legal rules yang baru yang akan memandu pembuatan/pengambilan keputusan di dalam proses atau administrasi peradilan (administration of justice).

Public Choice Theory
     Pada mulanya ‘benih’ public choice theory telah disemaikan sejak akhir tahun 1940-an oleh para akademisi di bidang public finance. Hal ini kemudan berlanjut hinggan pertengahan yahun 1950-an manakala mereka melepaskan diri dari kajian ‘kebijakan pemerintah tentang perpajakan dan pengeluaran/belanja’.Dalam upaya meng-eksplorasi ‘teory pemungutan suara atau ‘voting theory Rangkaian proses ini kelak akhirnya berkulminasi pada karya Duncan Black dan Anthony Downs, yang masing-masingnya adalah :
  1. Economic Theory of Democracy (Downs,1957) 
  2. The Theory of Comitees and Elections (Black,1958)
     Secara singkat public choice theory dapat didefinisikan sebagai analisa terhadap pembuatan/penagmbilan keutusan yang tidak berkenaan dengan pasar. Sedangkan secara lebih luas public choice theory  dimaknakan sebagai sekumpulan teori atau a body of  theory  yang memperlakukan para pembuat/pengambilan keputusan atau individual decision makers. Oleh karena ketertarikannya terhadap keputusan politis yang kentara, maka public choice theory of law and economics bisa juga dimengerti sebagai aplikasi dari analisa hukum dan ekonomi di dalam pembuatan/pengambilan keputusan politis. Dalam pengertian ini termasuk pula diantaranya beragam teori tentang Negara. Jika Chicago School of Law and Economics lebih berorientasi kapada common law, public theory dapat dilihat sebagai suatu pendekatan yang mempunyai focus utama pada ‘penciptaan’ atau creation dan ‘penerapan’ atau implementation dari hukum melalui proses hukum.

Institutinal Law and Economics
    Pendekatan institusional terhadap hukum dan ekonomi sebenarnya berakar pada berbagai bidang kajian yang diantaranya adalah:
  1. Ekonomi dan Jurisprudence: Henry C. Adams (1954)
  2. Hubungan antara property dan kontrak dengan distribusi kekayaan : Richard T.Elly (1914)
  3. Dasar-dasar hukum dari sistem ekonomi : John R,Commons (1924,1925)
  4. Peran sistem harga dan posisinya di dalam ekonomi modern : Wesley C.Mitchell (1927)
      Unsur-unsur dari pendekatan institusional terhadap hukum dan ekonomi ini dapat dijumpai pula pada tulisan-tulisan :
  1. Salah satu pendiri kajian ekonomi institusional, yakni : Thorstein Veblen (1889, 1904);
  2. Pengacara sekaligus pakar ekonomi atau lawyer-economist, seperti : Robert L. Hale dan Walton H. Hamilton (1932);
  3. Akademisi/ilmuwan/pakar hukum, misalnya : Karl Llewellyn (1924); Jerome Frank (1930); Roscoe Pound (1911, 1912).
     Institusional Law and Economics menuntut pendekatan interdispliniary antar lain : psikologi, sosiologi, antropologi, behavioral science, ekonomi, dan tentunya hukum, guna memahami perilaku para actor/pelaku ekonomi secara lebih baik. Dengan ini diharapkan akan dihasilkan berbagai asumsi yang lebih tepat berkenaan dengan penggambaran perilaku mereka. Institutional Law and Economic juga menolak asumsi-asumsi preferensi tetap. Berbeda dengan pendekatan lainnya didalam law and economics, pendekatan institutional law and economics sama sekali tidak membedakan diantara perlakuan-perlakuan, misalnya :
  1. Jurisprudensial
  2. Legislatif
  3. Birokratik
  4. Regulatori
     Bagi institusional law and economics,kesemua elakuan tersebut sama merupakan manifestasi dari inerelasi diantara:
  1. Pemerintah ingat sebagai institusi dan ekonomi
  2. Proses hukum dan proses ekonomi,dengan segala institusinya
     Sekali lagi perlu ditekankan di sini,fokus utama dari institusional law and economics adalah pada interelasi dan interaksi timbale balik diantara kedua pasang hubungan/keterkaitan tersebut.Oleh Karena sifat resiprokal atau mutual ini. Maka hubungan antara hukum dan ekonomi menjadi sebagai berikut :
  1. Ekonomi merupakan fungsi dari hukum dan sebaliknya
  2. Hukum juga merupakan fungsi dari ekonomi
Kesimpulan
Demikian perbandingan komparatif kontribusi Aliran Filsafat Hukum ke pada berbagai Aliran Hukum dan Ekonomi. Dengan komparasi ini, diharapkan pengikisan tembok pemisah dan prasangkasekaligus perbandingan yang lebih luas diantara filosofi hukum berbagai Aliran Hukum dan Ekonomi dapat berlangsung. Selanjutnya, perbedaan yang ada di antara berbagai Aliran Hukum dan Ekonomi dapat terjembatani dan persoalan hukum-pun dapat menemukan jalan keluarnya. Sebab pemahaman yang benar dan komprehensif tentang visi filosofis hukum dari berbagai Aliran Hukum dan Ekonomi akan dapat menguarai, mendudukkan pada tempatnya, serta memecahkan persoalan hukum dan/atau persoalan ekonomi yng kini memang kian kompleks itu.

Saran
Membaca keseluruhan laporan penelitian ini, kiranya dapat dipertimbangkan untuk :
  • Mengembangkan penelitian dalam bidang Filsafat Hukum.
  • Mengembangkan penelitian dalam bidang Filsafat Hukum yang berkenaan dengan kontribusi visi filosofis dari hukum kepada berbagai Aliran Hukum dan Ekonomi.
  • Mengembangkan penelitian dalam bidang Filsafat Hukum dengan Model Penelitian Komparasi terhadap berbagai Aliran Hukum dan Ekonomi.
  • Membuka hati untuk menerima keberagaman pemahaman hukum melalui komparasi sumabangan visi filosofis hukum kepada berbagai Aliran Hukum dan Ekonomi, sehingga jurang pemisah diantara aliran-aliran tersebut dapat terhubungkan, dan kompleksitas persoalan hukum-pun dapat terurai sekaligus terselesaikan
Sumber :

Review Jurnal Daftar Perusahaan


Nama Kelompok :     Ade Irene Febri
                                 Dimas Agung.P
                                 Levian
                                 Rezky Izhardhi
                                 Rina Rismawati
Kelas                      : 2EB05

Studi Tentang Evaluasi Program Perluasan Kepesertaan Jamsostek Di Pt. Jamsostek Surakarta
Oleh Ida fitria s
2010

Abstrak
Kepesertaan buruh dalam program Jamsostek adalah wajib dan terdapat sanksi bagi perusahaan yang melanggarnya. Akan tetapi kepesertaan yang bersifat wajib ini tidak disertai pemahaman yang jelas tentang manfaatnya, baik di tingkat tenaga kerja maupun pengusaha, sehingga masih banyak yang belum ikut kepesertaan Jamsostek. Salah satu program yang dilaksanakan PT. Jamsostek untuk menjaring peserta yaitu program perluasan kepesertaan. Penelitian ini dilaksanakan di PT. Jamsostek Surakarta dengan menitikberatkan pada proses pelaksanaan program perluasan kepesertaan dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi hasil. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan penilaian terhadap pelaksanaan usaha perluasan kepesertaan Jamsostek yang dilaksanakan oleh PT. Jamsostek Surakarta. Jenis penelitian ini adalah penelitian evaluasi yang menggunakan model evaluasi CIPP. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa pelaksanaan program perluasan kepesertaan Jamsostek di PT. Jamsostek Surakarta telah berjalan dengan baik. Sasaran program adalah perusahaan wajib daftar, perusahaan daftar sebagian, tenaga kerja di luar hubungan kerja, dan tenaga kerja di jasa kontruksi. Hasil dari program ini yaitu penambahan peserta Jamsostek. Dampak yang muncul adalah peningkatan perlindungan tenaga kerja dan ketaatan pengusaha-pengusaha terhadap peraturan Undang-Undang. Saran bagi PT. Jamsostek Surakarta berhubungan dengan penelitian ini adalah supaya PT. Jamsostek Surakarta lebih aktif dalam melakukan pendekatan langsung ke perusahaan-perusahaan, baik secara normatif maupun psikologis. Perlu adanya peningkatan kerjasama antara PT. Jamsostek Surakarta dengan dinas tertentu (Dinas Tenaga Kerja) untuk penegakan hukum bagi perusahaan yang belum mengikuti kepesertaan Jamsostek.

Pendahuluan
A. Latar Belakang
Pembangunan nasional merupakan bentuk penyelenggaraan negara yang bertujuan untuk mencapai tujuan negara. Dalam melaksanakan pembangunan nasional di negara Indonesia, tugas Pemerintah dibagi dua yaitu tugas umum pemerintahan dan tugas pembangunan. Tugas pembangunan merupakan tugas Pemerintah untuk menyelenggarakan pembangunan yang meliputi penyusunan rencana, pemrograman, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan. Tugas umum pemerintah merupakan kegiatan yang secara rutin dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka pemberian pengayoman dan pelayaanan pada masyarakat. Salah satu pihak yang berwenang melaksanakan tugas umum pemerintah yaitu organisasi publik. Organisasi publik selain berorientasi untuk mendapatkan keuntungan dari usahanya, satu hal yang tidak bisa dilupakan adalah pelayanan pada masyarakat karena selain mempunyai misi ekonomi juga harus punya misi sosial. Salah satu contoh organisasi publik adalah Kantor Jaminan Sosial Tenaga Kerja ( JAMSOSTEK ) yang merupakan Badan Usaha Milik Negara yang ditunjuk oleh Pemerintah sebagai satu-satunya penyelenggara resmi program jaminan sosial tenaga kerja. PT. Jamsostek (Persero) berkedudukan di bawah Dinas Tenaga Kerja, dan bertanggungjawab kepada Menteri Keuangan. Penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja bertitik tolak pada prinsip dasar atau visi dan misi Pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Visi Pemerintah dalam penyelenggaraan jaminan sosial adalah menciptakan masyarakat Indonesia yang beradab guna menuju masyarakat sejahtera. Sedangkan misi pemerintah dalam penyelenggaraan jaminan sosial adalah menciptakan dan mengusahakan hakhak warga negara yang berlaku universal. Sebagai program publik, Jamsostek memberikan hak dan membebani kewajiban secara pasti (compulsory) bagi pengusaha dan tenaga kerja berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1992, berupa santunan tunai dan pelayanan medis, sedangkan kewajiban peserta adalah tertib administrasi dan membayar iuran. Program Jamsostek memberikan perlindungan bersifat dasar, untuk menjaga harkat dan martabat manusia, khususnya tenaga kerja, jika mengalami resikoresiko sosial ekonomi dengan pembiayaan yang terjangkau oleh pengusaha dan tenaga kerja.

Program jaminan sosial tenaga kerja mempunyai aspek, antara lain :
1. Memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup
minimal bagi tenaga kerja beserta keluarganya.
2. Merupakan penghargaan kepada tenaga kerja yang telah menyumbangkan
tenaga dan pikirannya kepada perusahaan tempat mereka bekerja.
Bentuk perlindungan, pemeliharaan, dan peningkatan kesejahteraan yang diselenggarakan dalam bentuk program jaminan sosial tenaga kerja ini bersifat dasar dengan berasaskan usaha bersama, kekeluargaan, dan gotong royong sebagaimana terkandung dalam jiwa dan semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hal tersebut tercermin dalam pembiayaan jaminan sosial tenaga kerja sesuai dengan jumlah yang ditanggung oleh perusahaan dan tenaga kerja sesuai dengan jumlah yang tidak memberatkan beban keuangan
kedua belah pihak.

Ruang lingkup program Jamsostek berdasarkan UU No. 3 tahun 1992,
meliputi :
a. Jaminan berupa uang yang meliputi
1. Jaminan Kecelakaan Kerja
2. Jaminan Kematian
3. Jaminan Hari Tua

b. Jaminan berupa pelayanan, yaitu Jaminan Pemeliharaan Kesehatan


Kantor cabang PT. Jamsostek (Persero) Surakarta merupakan badan yang ditunjuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial dengan wilayah kerja yang meliputi kabupaten Sragen, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, dan kodya Surakarta. Kantor ini berdiri setelah ditetapkannya PP No. 33 Tahun 1977 tentang penyelenggaraan program Asuransi Sosial Tenaga Kerja (ASTEK) dan PP No. 34 Tahun 1977 tentang pendirian Perusahaan Umum Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Perum Astek). Lingkungan organisasi publik tidak hanya makin bergejolak dalam tahuntahun belakangan ini, tapi juga saling berhubungan secara lebih erat, sehingga dimana-mana perubahan dalam sistem menggema tak terduga dan seringkali
berbahaya. Gejolak yang makin meningkat dan saling bertautan ini memerlukan tanggapan dari organisasi dan komunitas publik.

B. Pembahasan
Menurut J.S Badudu dan Sutan Muhammad Zain, istilah evaluasi merupakan serapan dari bahasa Inggris yaitu ”evaluation” yang berarti penilaian (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1994 : 401). Mengevaluasi berarti menilai, memeriksa untuk menilai pekerjaan yang sudah dilakukan apakah hasilnya cukup, baik, atau buruk. Menurut Hunger & Wheelen, pengendalian dan evaluasi adalah proses membandingkan kinerja aktual organisasi dengan kinerja yang telah ditetapkan dan memberikan umpan balik yang diperlukan bagi pihak manajemen untuk mengevaluasi hasil-hasil yang diperoleh dan mengambil tindakan perbaikan bila diperlukan.(2003 : 384) Sedangkan menurut GR. Terry (Winardi, 1986 : 395) kontrol dan evaluasi dapat disebutkan dengan istilah pengawasan yang berarti mendeterminasi apa yang telah dilaksanakan, maksudnya mengevaluasi prestasi kerja dan apabila perlu, menerapkan tindakantindakan korektif sehingga hasil pekerjaan sesuai dengan rencanarencana. Pariatra Westra dalam Ensiklopedia Administrasi mendefinisikan
evaluasi sebagai berikut : ”Pekerjaan yang dilakukan oleh seorang manajer yang berupa menetapkan perbedaan antara hasil yang benar-benar dicapai dengan pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya dicapai menurut rencana, serta menilai perbedaan-perbedaan tersebut. Kemudian dari penilaian itulah digunakan untuk menentukan langkah selanjutnya.” (1989 :
157) Adapun Marie Therese Faurstein memberi batasan evaluasi adalah ”menaksir nilai sesuatu”. Dalam hal ini evaluasi berarti membantu mereka yang terlibat dalam banyak jenis program pengembangan untuk menaksir nilai pekerjaan yang sedang mereka lakukan. Banyak diantara mereka yang telah melakukan monitoring terhadap pekerjaan mereka sendiri dan mungkin telah ikut serta dalam mengevaluasinya secara sistematis (Farid Wadjiji, 1990:8).
Evaluasi merupakan proses menilai hasil dari suatu kegiatan yang telah dilaksanakan dengan membandingkan antara hasil yang telah dicapai dengan tujuan atau target yang telah ditentukan. Dengan evaluasi ini bisa diketahui apakah suatu kegiatan telah berhasil atau gagal.
Hal yang penting dalam evaluasi, yaitu :
a. Tujuan evaluasi adalah untuk mengukur hasil dari pelaksanaan suatu kegiatan.
b. Penilaian dilakukan dengan mengacu pada tujuan dan target yang telah ditetapkan.
c. Hasil evaluasi merupakan pertimbangan untuk menentukan

Alkin mengemukakan bahwa “Evaluation is the process of accertaining the decision areas of concern, selecting appropriate information in order to report summary data useful to decision makers in selecting among alternatives”. Menurut Alkin, evaluasi program merupakan proses yang berkaitan dengan penyiapan berbagai wilayah keputusan melalui pemilihan informasi yang tepat, pengumpulan, dan analisis data, serta pelaporan yang berguna bagi para pengambil keputusan dalam menentukan berbagai alternatif pilihan untuk menetapkan keputusan.

Dalam Djudju Sudjana (2006 : 51) disebutkan pengelompokan model-model evaluasi program, terdiri dari enam kategori yaitu :
1. Evaluasi Terfokus pada Pengambilan Keputusan Evaluasi ini diarahkan untuk menghimpun, mengolah, dan menyajikan data sebagai masukan untuk pengambilan keputusan.
2. Evaluasi Unsur-unsur Program
3. Evaluasi Jenis dan Tipe Kegiatan
4. Evaluasi Pelaksanaan Program
5. Evaluasi Pencapaian Tujuan Khusus Program
6. Evaluasi Hasil dan Pengaruh Program

Evaluasi Program Perluasan Kepesertaan Jamsostek
Setelah mengetahui beberapa pengertian yang telah dikemukakan diatas, maka yamg dimaksud dengan evaluasi program Perluasan Kepesertaan adalah suatu penilaian terhadap proses pelaksanaan usaha perluasan kepesertaan untuk mencapai tujuan (yaitu penambahan peserta) dengan menggunakan sumber daya yang ada serta hasil/ manfaat dari proses pelaksanaan program tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan program Perluasan Kepesertaan PT. Jamsostek Surakarta yang termaktub dalam rencana kerjanya.

Kepala Bidang Pemasaran ini membawahi beberapa bagian antara lain :
1. Account Officer, mempunyai fungsi utama untuk melakukan perluasan dan pembinaan kepesertaan guna tercapainya target dan tertib administrasi.
2. Petugas Administrasi Pemasaran, mempunyai fungsi melaksanakan administrasi kegiatan bidang pemasaran untuk kelancaran kegiatan bidang pemasaran.
3. Account Officer Khusus, mempunyai fungsi untuk melakukan pendaftaran pembinaan kepesertaan program khusus guna tercapainya target kepesertaan, iuran dan peningkatan pelayanan program khusus. Yang dimaksud program khusus disini adalah timbal balik Jamsostek

Badan penyelenggara menyelenggarakan paket jaminanpemeliharaan kesehatan dasar yang meliputi pelayanan :
a. Rawat jalan tingkat pertama
b. Rawat jalan tingkat lanjutan
c. Rawat inap
d. Pemeriksaan kehamilan
e. Penunjang diagnostik
f. Pelayanan khusus

Dalam menyelenggarakan paket jaminan pemeliharaan kesehatan dasar, badan penyelenggara wajib :
a. Memberikan kartu pemelliharaan kesehatan kepada setiap peserta.
b. Memberikan keterangan yang perlu diketahui peserta mengenai jaminan pemeliharaan kesehatan yang diselenggarakan Pelaksanaan pemberian pelayanan dilakukan oleh pelaksana pelayanan kesehatan berdasarkan perjanjian tertulis dengan badan penyelenggara. Badan penyelenggara melakukan pembayaran kepada pelaksana pelayanan kesehatan secara praupaya dengan sistem kapitasi. Pemberian pelayanan oleh pelaksana pelayanan kesehatan dilakukan sesuai dengan kebutuhan medis yang nyata dan standar pelayanan medis yang berlaku dengan tetap memperhatikan mutu pelayanan.

Jumlah target sasaran program Perluasan Kepesertaan Jamsostek di PT. Jamsostek Surakarta tahun 2008 yang hendak dicapai sebagai berikut :
Ø Target perusahaan
- Program Paket (PWBD/PDS) 92 perusahaan
- Program Khusus (jasa kontruksi) 602 proyek
Ø Target Tenaga Kerja
- Program Paket (PWBD/PDS) 19384 orang
- Program Khusus (jasa kontruksi) 36655 orang
- Program TKLHK 1625 orang
Jumlah target sasaran di atas ditetapkan dari kantor Jamsostek pusat. Penetapannya berdasarkan ajuan perkiraan dari kantor cabang (PT. Jamsostek Surakarta) dengan mendasarkan pencapaian target pada tahun sebelumnya.

C. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis, dapat
disimpulkan tentang evaluasi pelaksanaan program Perluasan Kepesertaan
Jamsostek oleh PT. Jamsostek Surakarta. Dalam penelitian ini menggunakan
model CIPP (Context, Input, Process, Product)

 Sasaran Pelaksanaan Program
Sasaran program Perluasan Kepesertaan Jamsostek adalah :
· Perusahaan Wajib Belum Daftar (PWBD)
· Perusahaan Daftar Sebagian (PDS)
· Tenaga Kerja yang bekerja di Luar Hubungan Kerja (TKLHK) atau disebut pula tenaga kerja informal.
· Tenaga Kerja (TK) di jasa kontruksi.

DAFTAR PUSTAKA
Djudju Sudjana. 2006. Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah. Bandung :
PT. Remaja Rosdakarya.
Farid Wadjiji. 1990. Evaluasi Partisipatoris. Jakarta : P3M.
H.B. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : UNS Press.
Hunger J. David dan L. Wheelen Thomas. 2002. Manajemen Strategis.
Yogyakarta : Andi Yogyakarta.
Husein Umar. 2002. Evaluasi Kinerja Perusahaan. Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama.
J. S. Badudu dan Sutan Muhammad Zain. 1994. Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Jakarta : PT. Gramedia Jakarta
Lexy J. Moleong. 1988. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.
Pariatra Westra. 1989. Ensiklopedia Administrasi. Jakarta : Haji Mas Agung.
Pariatra Westra. 1983. Manajemen Pembangunan Daerah. Jakarta : Ghalia
Indonesia.
Samodra Wibawa, dkk. 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada.
Soenarko S.D. 2000. Public Policy (Pengertian Pokok untuk Memahami dan
Analisa Kebijaksanaan Pemerintah). Surabaya : Airlangga University
Press.

Sumber Lain :
http://id.answers.yahoo.com
PP No. 33 Tahun 1977 tentang penyelenggaraan program Asuransi Sosial Tenaga
Kerja (ASTEK)
PP No. 34 Tahun 1977 tentang pendirian Perusahaan Umum Asuransi Sosial
Tenaga Kerja (Perum Astek)
Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
www.elsevier.com. Evaluation : The International Journal of Theory, Research
and Practice, p. 98, Vol. 14. Thomson Reuters 2007, Tavistock Institute,
London, UK
www.sagepub.com. What is Program Evaluation p. 101. Vol. 11, Gene Shackman,
2007, Washington DC

Riview Jurnal Anti Monopoli



Nama kelompok :


Ø Ade Irene Febri L
Ø Dimas Agung P
Ø Levian
Ø Rezky Izhardi
Ø Rina Rismawati

Kelas : 2 EB 05

JURNAL LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI & PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PENGECUALIAN TERHADAP BADAN USAHA KOPERASI
Nama pengarang        :  Andjar Pachta Wirana
Penulis adalah             : Staf Pengajar Fakultas Hukum di Universitas Indonesia

ABSTRAK
            Artikel ini dikerjakan dengan 2 peraturan menulis. Mengenai status koperasi dan anti pembatasan monopoli. Dibawah ini pembentukan koperasi Republik Indonesia sebagai satuan usaha orang-orang untuk memudahkan tentang kebijakan ekonomi. Kebijakan itu membidikan dikirim untuk melebarkan bagian melalui sistem ekonomi yang mana tertutup untuk orang. Dia tau sebagai orang ekonomi dengan sistem prinsip melebarkan, menyebarkan, dan nasional demokrasi ekonomi. Pengarang mengakui untuk pemberian satu pengecualian untuk bekerja sama mengabaikan kearah peraturan anti monopoli. Pengecualian itu sendiri adalah dengan sangat jelas, memantulkan satu perlindungan sah dari pemerintah untuk orang ekonomi. Perlindungan tentang perisai dan memberikan kesempatan untuk saling bekerja sama dan kesatuan pekerjaan untuk mengembangkan dan menjadi kuat dan bisnis mereka seimbang.

PENDAHULUAN
Kedudukan badan usaha koperasi didalam sistim perekonomian Negara Indoneia memiliki dasar hukum yang kuat dan disebut secara eksplisit dalam konstitusi-konstitusi , pemerintahan, sejak dari tahun pertama kemerdekaan Republik Indonesia, dalam politik ekonominya, selalu berusaha memberdayakan badan usaha koperasi dengan membuat kebijakan-kebijakan ekonomi yang memberikan porsi yang “Luas” terhadap pengembangan dan perkembangan usaha koperasi secara nasional dalam rangka mewujudkan perekonomian yang berpihak kepada rakyat-rakyat yang kita kenal sekarang.

KAJIAN PUSTAKA
Peraturan perundang-undangan
Indonesia,        UUD 1945. Naskah Asli berikut Amandemen I, II, III, dan IV.
                        UU No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
UU No.5 Tahun 1999 tentang Landasan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Keputusan Presiden No.127 Tahun 2001 tentang Bidang/Jenis Usaha yang Terbuka Untuk Usaha Menengah atau Besar dengan Syarat Kemitraan.

METODELOGI
                Metode pendekatan secara Yuridis dan Empiris
Dapat kita baca kritikan yang diberikan masyarakat tentang pengembangan koperasi dalam skala nasional yang masih akrab dengan permasalahan dalam mengembangkan lembaganya. Secara empiris,permasalahan itu dapat dikelompokkan dalam :
1.       Iklim usaha yang tidak menunjang lembaga koperasi dalam menjalakan usahanya, meskipun pemerintah telah memberikan berbagai kemudahan-kemudahan.
2.       Pola kerjasama antar lembaga koeprasi dalam menjalankan usahanya secara holistik belum terwujud, sehingga interaksi-usaha baik secara horizontal maupun vertikal masih harus dibenahi agar dapat membuka ruang yang cukup bagi perkembangan usaha dari lembaga-lembaga koperasi  yang ada disekitarnya.
3.       Kesadaran terhadap fungsi koperasi  secara maksimal dapat membawa kemanfaatan bersama masih harus dibenahi secara serius.
4.       Keterbatasan pengalaman dan pengetahuan dibidang menejemen usaha, informasi, dan lain-lain.
PEMBAHASAN

I. Pengertian Badan-Usaha Koperasi
                Dari sudut etimologis, kata “Koperasi” pada mulanya berasal dari dua kata dalam bahasa latin, yaitu : CUM dan APERARI yang berarti “dengan bekerjasama”.
Dalam pengertian bahasa Indonesia, sekarang ini kata Koperasi membawa pengertian kepada sebuah lembaga organisasi ekonomi dengan beranggotakan orang-orang yang mempunyai kepentingan ekonomi yang sama, yang sifatnya “sukarela”. Sehingga dapat kita simpulkan menjadi rangkaian kalimat, “Koperasi adalah suatu perkumpulan atau organisasi ekonomi yang beranggotakan orang-orang atau badan-badan usaha (koperasi) yang aggotanya bebas untuk keluar masuk sebagai anggota, melakukan kerjasama secara kekeluargaan dalam lingkup ketentuan yang mereka buat sendiri berdasarkan ketentuan yang berlaku, untuk mencapai tujuan yang mereka rumuskan secara bersama-sama pula. Dengan demikian, pengertian Badan usaha koperasi, lebih lanjut dapat diartikan sebagai salah satu dari ‘kendaraan’ usaha yang dibentuk oleh para pendiri dan anggota dari sebuah perkumpulan koperasi untuk melaksanakan kegiatan usahanya.

II. Dasar Hukum, Fungsi dan Tujuan Badan usaha koperasi
A.     Dasar Hukum
Dasar hukum lembaga koperasi di Indonesia adalah Konstitusi negara, UUD 1945. Dengan demikian, di negara kita Indonesia, satu-satunya bangun usaha yang mendapat mandat langsung dari konstitusi negara adalah Koperasi.
Untuk itu, dalam penjelasan Konstitusi tersebut secara gamblang dapat dibaca, bahwa sistim ekonomi Indonesia didasarkan pada “asa” Demokrasi Ekonomi. Tetapi tidak cukup dengan dasar hukum saja, politik negara kita secara implisit maupun eksplisit memberikan perlindungan dan perlakuan khusus kepada bangun usaha koperasi baik dalam bentuk pembinaan yang dilakukan pemerintah secara langsung maupun tidak langsung, maupun memberikan “perlakuan khusus” terhadap setiap lembaga ekonomi yang diwujudkan dalam bentuk Koperasi.
B.      Fungsi dan Tujuan Koperasi
Fungsi Koperasi, menurut Moh. Hatta dalam pidato-radio yang berjudul Membangun koperasi dan koperasi membangun, antara lain mengatakan bahwa koperasi menurut waktu, tempat, dan keadaan, adalah meliputi 7 hal yaitu :
1.      Memperbanyak produksi
2.      Memperbaiki kwalitas barang
3.      Memperbaiki distribusi
4.      Memperbaiki harga
5.      Menyingkirkan penghisapan dari lintah darat
6.      Memperkuat pemaduan capital
7.      Memelihara lumbung simpanan padi
Dari 7 hal tersebut, dalam kurun waktu abad milinium ini ternyata masih tetap relevan, terutama dari sudut ketahanan ekonomi rakyat dengan menggunakan badan usaha Koperasi sebagai wadah dan kendaraan untuk menjalankan usaha. Sehingga jika ketujuh hal tersebut dijalankan secara konsekwen dalam berkoperasi maka koperasi yang berada diseluruh Indonesia ini dapat berfungsi sebagai ‘kendaraan’ dan ‘wadah’ berkumpulnya anggota dalam meningkatkan taraf kehidupan ekonomi mereka.
III. Kebeadaan badan usaha koperasi dalam perekonomian Indonesia
            Keberadaan badan usaha koperasi di wilayah negara Indonesia tercantum dalam konstitusi negara Republik Indonesia, dengan demikian eksistensinya dijamin oleh Konstitusi. Dalam kesempatan lain Mubyarto ditahun 1989, menyebutkan bahwa di Indonesia dikenal ada 3 kelompok organisasi ekonomi atau badan usaha, yaitu :
1.      Sektor ekonomi negara, yang berorientasi pada pelayanan kepada kepentingan umum dan rakyat banyak
2.      Sektor ekonomi swasta, yang berorientasi pada menjalankan usaha untuk memupuk keuntungan maksimal
3.      Sektor ekonomi koperasi, yang berorientasi pada kerjasama dengan asas kekeluargaan, untuk memperpanjang dan memajukan tingkat perekonomian para anggotanya.
IV. Konsep persaingan usaha yang sehat
            Konsep persaingan usaha yang sehat, berisi 3hal pokok sekaligus dijadikan objek yang ‘dilarang’ yang dijadikan ‘wilayah’ untuk melihat apakah ada persaingan usaha yang tidak sehat.
1.      Lingkup kesepakatan, persekongkolan, atau perjanjian
2.      Lingkup kegiatan
3.      Lingkup dominasi
Konsep persaingan usaha yang sehat yang diatur didalam UU No.5 tahun 1999 adalah menjaga harmonisasi atau keseimbangan antara para produsen (termasuk: distributor dan para pedagangnya) dengan konsumen.


V. Persaingan usaha yang sehat dan badan usaha koperasi
            Manfaat utama dari adanya ketentuan hukum tentang persaingan yang sehat terhadap koperasi secara langsung adalah memberikan “kesempatan” untuk menjalankan usaha seluas mungkin demi meningkatkan kemampuan ekonomi dan kesejahteraan para anggotanya. Dalam pengertian hukum dijabarkan sebagai ‘mencegah’ terjadinya perbuatan curang, kalaupun terjadi perbuatan curang maka telah ada ketentuan hukum yang mengatur tentang sanksi-sanksinya.

VI. Pembinaan badan usaha koperasi dan pengaruhnya terhadap persaingan usaha
1.      Hambatan dalam membina badan usaha koperasi
Hambatan yang selama ini dirasakan secara umum dan menjadi penghalang dalam mengembangkan usaha koperasi dapat disebabkan dari faktor internal maupun dari faktor eksternal. Secara internal, umumnya dari sudut ‘kemampuan teknis’ yang dimiliki oleh koperasi itu sendiri, yang dapat meliputi faktor-faktor :
a.      Menejemen
b.      Pengalaman
c.       Jaringan usaha
d.      Modal terbatas
e.      Serta kesadaran dari anggota baik secara individu maupun kolektif.
Hambatan yang berasal dari internal koperasi, memang paling banyak kita ketemukan dimasyarakat.
Sedangkan secara eksternal, umumnya berasal dari kebijakan pemerintah yang sering tidak konsisten bahkan kontradiktif yang berakibat pada iklim yang tidak kondusif bagi perkembangan usaha koperasi.

2.      Peluang terciptanya ekonomi kerakyatan dalam konteks koperasi sebagai sistim perekonomian
Pengecualian terhadap koperasi yang diberikan oleh ketentuan perundang-undangan tentang persaingan usaha yang sehat, harus dijadikan dasar yuridis dalam menciptakan peluang-peluang usaha koperasi secara luas. Koperasi dapat menjadi lembaga usaha dalam sistem perekonomian nasional, karena keberadaan koperasi baik sebagai sistem maupun lembaga ekonomi dapat hadir dimasyarakat kebanyakan dalam arti stara sosial paling bawah hingga di strata sosial tingkat atas dalam ukuran nasional bahkan internasional.



Kesimpulan

            Berdasarkan diskusi diatas, ada 4 kesimpulan yang dapat diberikan oleh penulis dalam diskusi terbatas ini, yaitu sebagai berikut :
1.      Dalam kedudukan koperasi selaku lembaga yang menjalankan usaha, maka bukan tidak mungkin pda suatu periode dan situasi tertentu badan usaha koperasi itu dapat masuk dalam kategori menjalankan praktek monopoli. Dengan demikian, apabila kondisi tersebut dipenuhi, maka ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang larangan praktek melakukan usaha yang tidak sehat dapat berlaku
2.      Beberapa persyaratan yang diberikan kepada lembaga usaha koperasi untuk dapat dikecualikan ari ketentuan larangan praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat tersebut antara lain dari segi permodalan dan luas lingkup pelayanan yang diberikan oleh badan usaha koperasi tersebut. Disamping itu, karena ketentuan larangan monopoli itu dibuat untuk menjaga harmonis kehidupan lembaga-lembaga usaha yang ada. Maka kretaria dan ukuran dari lembaga usaha kecil (UKM) dan koperasi memang harus diperjelas dan dievaluasi dari waktu ke waktu
3.      Mengingat bahwa lembaga usaha koperasi merupakan usaha yang dibangun oleh kumpulan orang-orang (rakyat kecil) yang mempunyai modal terbatas dalam rangka meningkatkan kemampuan ekonomi anggotanya, maka pengecualian yang diberikan kepada badan usaha koperasi itu diawali dengan niat pemerintah dalam hal memberikan dasar yuridis kepada lembaga-lembaga koperasi untuk mendapat kesempatan luar dalam memulai, menjalankan, dan mengembangkan usahanya secara luas, terutama untuk mengingkatkan kesejahteraan ekonomi para anggotanya.
4.      Hal-hal yang sering menjadi penghambat dilapangan dalam menjaga eksistensi usaha koperasi dan pengembangan usahanya adalah sikap pemerintah yang sering mendua dalam mengeluarkan kebijakan dengan memberikan porsi-porsi usaha yang sudah ditekuni dan dijalankan dengan baik oleh koperasi kepada pendatang baru dari kalangan lembaga usaha yang non-koperasi.


Refrensi
Assiddiqie, Jimly. Konsolidasi Naskah Undang-Undang Dasar 1945 setelah perubahan Ke-empat. Pusat Study Hukum Tata Negara, FHUI Jakarta, 2002.
Hadikusuma, R.T. Sutantya Rahardja. Hukum koperasi Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Hendrajogi. Koperasi: Azas-azas, Teori dan Praktek. Jakarta: Rajawali Press, 1997.
Kwik, Kian Gie. “MPR dan Ekonomi Kerakyatan”. Kompas, 16 November 1996.
Mubyarto. Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan. Jakarta: LP3ES, 1987
Mutis, Thoby. Pengembangan koperasi: Kumpulan karangan. Jakarta: Grasindo. 1992
Ragam koperasi di Manca Negara. Jakarta: Media Ekonomi Publishing, 1999.
Rachbini, Didik.J., Politik Ekonomi Baru Menuju Demokrasi Ekonomi. Jakarta: Grasindo, 2001.
Rahardjo, Dawam. Apa kabar koperasi Indonesia. Jakarta: Kompas Cyber Media, 2002.
Swasono, Sri Edi (Ed.). Mencari Bentuk, Posisi, dan Realitas Koperasi di dalam Orde Ekonomi Indonesia. Cet. Ke-2, Jakarta: UI Press, 1985.
Lapenkop Bukopin. Lebih mengenal koperasi, Anggaran dasar koperasi, Rapat Anggota, SHU Anggota Koperasi. Cet. Ke-3, Bandung: Lapenkop Bukopin, 1999.
Widiyanti, Ninik dan Sunindhia. Koperasi dan Perekonomian Indonesia. Cet. Ke-3, Jakarta: Rineka Cipta, 1998.
Wiradiputra, Ditha. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia: Perjanjian yang dilarang. Lembaga Kajian Persaingan Usaha dan kebijakan Usaha. FHUI Jakarta, 2003.


Sumber :

Riview Jurnal Hukum Perjanjian


Review Jurnal Hukum Perjanjian Internasional


Nama Kelompok :

Ade Irene Febri               (20210115)
Dimas Agung Prayogi    (22210019)
Levian                               (24210006)
Rezky Izhardhi N              (25210835)
Rina Rismawati               (25210972)

Kelas :

2EB05



Kajian Akademis (Teoritid dan Praktis) atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional Berdasarkan Hukum Perjanjian Internasional

Abstract
Ada banyak berbagai pendapat tentang Undang-Undang perjanjian yang telah di tetapkan pemerintah Indonesia pada taun 2000, termasuk apakah sudah diterapkan dengan benar dan dipahami dengan benar. Artikel ini membahas analisis akademik tertentu pada hukum No 24 Tahun 2000 tentang perjanjian dari sudut pandang hukum perjanjian.

1. Pendahuluan

Hukum perjanjian internasional telah diformulasikan ke dalam bentuk hukum tertulis yang berupa dua konvensi yakni :
·         Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional yang hanya mengatur perjanjian-perjanjian internasional antara negara dan negara saja
·         Konvensi Wina 1986 tentang Hukum Perjanjian internasional antara Organisasi Internasional dan Negara dan antara Organisasi Internasional dan Organisasi Internasional

Pada dasarnya, kedua Konvensi ini mengatur tentang proses atau tahap-tahap dalam pembuatan sampai pengakhiran perjanjian internasional.
Keterikatan atau tunduknya suatu negara pada suatu perjanjian internasional mengandung aspek eksternal dan aspek internal. Aspek eksternal adalah negara itu memikul kewajiban dan menerima hak dari perjanjian internasional itu. Sedangkan aspek internalnya adalah perjanjian internasional itu masuk dan berlaku sebagai bagian dari hukum nasionalnya. Masalah-masalah sudah mulai terjadi ketika pemerintah begara itu bermaksud akan membuat perjanjian internasional. Ini lebih tampak sebagai masalah prosedur.
Masalah internal lainnya yang lebih substansial adalah dampak atau pengaruh dari masuknya perjanjian internasional itu ke dalam hukum nasional atau peraturan perundanga-undangan nasional negara.dalam hal ini dibutuhkan adanya pengharmonisasian atau penyelarasana antara substansi perjanjian dengan substansi dari hukum atau peraturan perundang-undangan nasional yang terkait.

2. Dasar Hukum dari Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional Indonesia

Secara kronologis, periodeisasi dasar hukum dari perjanjian internasional dalam sejarah hukum Indonesia adalah :


II.1. Periode 17Agustus 1945 – 18 Desember 1949, Periode 18 Desember 1949 – 17 Agustus 1950, dan Periode 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959

Dalam periode 17 Agustus 1945 – 18 Desember 1949, dasar hukum perjanjian internasional dapat dijumpai dalam Pasal 11 UUD 1945. Karna bentuk negara RI diubah dari negara kesatuan menjadi negara serikat, maka yang menjadi dasar hukum dari perjanjian internasional yaitu Bab IV Bagian 5 (18 Desember 1949 – 17 Agustus 1950).
Lalu periode 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959 menggunakan UUDS 1950 Pasal 120 ayat 1 dan 2 dan Pasal 121 menjadi dasar hukum dari perjanjian internasional.

II.2. Periode 5 Juli 1959 – 23 Oktober 2000
II.2.1. Berlakunya kembali UUD 1945 dan Pasal 11 UUD 1945 sebagai dasar hukum dari perjanjian internasional

Setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 yang salah satu isinya adalah “Kembali ke UUD 1945”, maka sejak itu UUD 1945 mulai berlaku kembali. Bentuk negara tetap sebagai negara kesatuan, hanya UUDnya saja yang diganti. Dengan demikian, dasar hukum dari perjanjian internasional juga kembali pada Pasal 11 UUD 1945 dengan rumusan yang tidak berubah.

II.2.2. Surat Presiden Nomor: 2826/HK/1960 Tanggal 22 Agustus 1960

Surat presiden ini pada hakekatnya merupakan pendapat atau penafsiran dai Presiden atau Pemerintah tentang ruang lingkup substansi dari Pasal 11 UUD 1945. Adapun isi pokok dari Surat Presiden ini dapat dirincikan sebagai berikut:
1.       Tidak setiap perjanjian yang dibuat oleh Presiden dengan negara asing harus diajukan kepada Dewan untuk mendapatkan persetujuan.
2.       Jika mengenai perjanian-perjanjian yang substansinya kecil juga harus membutuhkan persetujuan Dewan terlebih dahulu, akibatnya Pemerintah tidak akan mempunyai keleluasaan untuk bertindak dalam melakukan hubungan-hubungan internasional yang membutuhkan langkah cepat dari Pemerintah.
3.       Untuk menjamin kelancaran kerjasama antara Pemerintah dan Dewan berkenaan dengan Pasal 11 UUD 1945, Pemerintah akan meminta persetujuan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, hanya mengenai perjanjian-perjanjian yang penting saja (treaties).
4.       Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, Pemerintah berpendapat, perjanjian-perjanjian yang harus disampaikan kepada DPR umtuk mendapatkan persetujuan sebelum disahkan oleh Presiden adalah perjanjian-perjanjian yang lazimnya berbentuk treaty.

II.3. Periode 23 Oktober 2000 – Sekarang: Masa berlakunya UUD 1945 (sesudah Perubahan) dan mulai berlakunya UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang perjanjian InternasionalII.3.1. Pasal 11 UUD 1945 Perubaha Ketiga (2001) dan Keempat (2002)

Pada Perubahan Ketiga (2001), naskah Pasal 11 lama tampaknya dihapuskan sedangkan ayat 2 dan 3 nya merupakan hasil Perubahan Ketiga. Akan tetapi dalam Perubahan Keempat (2002), Pasal 11 naskah yang lama ternyata dimunculkan lagi dan dijadikan seabagi Pasal 11 ayat 1.
Ada beberapa catatan yang dapat dikemukakan berkenaan dengan substansi dari Pasal 11 ayat 1, ayat 2, dan 3:
·         Terhadap ayat 1 yang merupakan naskah lama, tidak tepat untuk disatukan pengaturan tentang menyatakan perang dan membuat perdamaian pada satu pihak dan membuat perjanjian internasional pada pihak lain di dalam satu pasal ataupun ayat, sebab keduanya berbeda.
·         Terhadap ayat 2 sebagai naskah baru yang substansinya lebih tampak sebagai kriteria tentang suatu perjanjian internasional yang harus membutuhkan persetujuan DPR.
·         Mubculnya ketentuan ayat 2 yang mengharuskan Presiden meminta persetujuan Dewan dalam pembuatan perjanjian-perjanjian internasional yang materinya sangat penting dan menyangkut hajat hidup orang banyak, tampaknya disebabkan karena perancang naskah ayat 2 ini menafsirkan ayat 1 sebagai bersifat fakultatif.

III.  Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional: Beberapa Catatan dan Komentar

Secara umum dapat dikatakan, bahwa UU ini sudah lebih lengkap jika dibandingkan dengan Surat Presiden di atas. Akan tetapi, UU ini menyatukan antara perjanjian internasional yang diatur dalam Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986, padahal keduanya walaupun ada cukup banyak persamaan, juga ada perbedaannya.
Memang sistimatikanya sudah tampak adanya keselarasan, namun sistematika ini tidak sepenuhnya sesuai mengikuti urutan-urutan dalam kedua Konvensi walaupun tidak harus sama persis.
Secara khusus, terlihat adanya masalah dalam hal “Pengesahan”. Tidak jelasnya perbedaan antara “Pengesahan” dalam pengertian “Pengikatan diri atau Persetujuan untuk Terikat pada Perjanjian Internasional” pada satu pihak dengan “Pengesahan” dalam pengertian “Pemberlakuan suatu Perjanjian Internasional ke dalam Kukum Nasional Indonesia” pada pihak lain.
Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi, aksesi, penerimaan, dan persetujuan. (Pasal 1 butir b)
Dari definisi ini tampak jelas, bahwa yang dimaksudkan dengan pengertian pengesahan dalam  Pasal 1 butir b ini adalah sama dengan pengikatan diri atau persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 11-17 Konvensi Wina 1969 dan Pasal 11-17 Konvensi Wina 1986.
Selain itu, UU ini membedakan perjanjian internasional ke dalam dua golongan yakni :
·         Perjanjian internasional yang diberlakukan dengan undang-undang (Pasal 10)
·         Perjanjian internasional yang diberlakukan dengan Keputusan Presiden (Pasal 11 ayat 1 dan 2)

IV. Beberapa Masalah Domestik dari Pemberlakuan Perjanjian Internasional ke dalam Hukum Nasional Indonesia Berdasarkan Pasal 11 UUD 1945 Perubahan Ketiga dan Keempat dan UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Masalah-masalah dalam ruang lingkup hukum nasional secara kronologis adalah:
·         Indonesia sebelum mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional sebagaimana lazimnya, akan mengkaji secara mendalam lebih dahulu substansi dari perjanjian internasional tersebut. Persoalan-persoalan yang terkait dalam hal ini adalah, sejauh manakah substansi perjanjian internasional itu sesuai ataupun bertentangan dengan kepentingan nasional ataupun hukum nasional dalam bidang yang bersangkutan.
·         Mengenai pembedaan perjanjian internasional yang pemberlakuannya ke dalam hukum nasional Indonesia antara yang membutuhkan dan yang tidak membutuhkan persetujuan DPR.
·         Kesalahan dalam penggolongan dan pemberlakuan seperti di atas, dapat menimbulkan persoalan apabila Keputusan Presiden tentang pemberlakuan perjanjian itu dijadikan sebagi konsiderans dari UU yang merupakan pelaksanaa dari perjanjian itu.
·         Adanya kemungkinan pihak-pihak yang menggugat keabsahan dari suatu UU tentang pemberlakuan perjanjian internasional kehadapan MK ataupun menggugat keabsahan dari suatu Keputusan Presiden tentang pemberlakuan perjanjian internasional melalui hak uji materiil di hadapan badan pengadilan.
·         Berkenaan dengan perjanjian-perjanjian internasional yang setelah pemberlakuannya ke dalam hukum nasional Indonesia yang substansial masih perlu ditransformasikan menjadi UU nasional.
·         Perjanjian-perjanjian internasional dalam golongan pemberlakuannya ke dalam hukum nasional Indonesia dilakukan secara langsung sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 15 ayat 1 UU Nomor 24 Tahun 2000. Dengan kata lain, perjanjian-perjanjian dalam golongan ini masuknya dan berlakunya sama sekali tanpa suatu bentuk tertentu, seperti UU, KepPres ataupun bentuk peraturan lainnya.

V. Penutup

Dengan paparan masalah-masalah di atas kiranya sudah cukup menampakan betapa keduanya perlu diubah lagi untuk disesuaikan dengan perkembangan hukum perjanjian internasional itu sendiri yang semakin lama semakin bertambah banyak baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

Sumber :

Review Jurnal Hukum Dagang

Review Jurnal Hukum Dagang




Nama Kelompok :

Ade Irene Febri               (20210115)
Dimas Agung Prayogi    (22210019)
Levian                               (24210006)
Rezky Izhardhi N              (25210835)
Rina Rismawati               (25210972)

Kelas :

2EB05

JURNAL HUKUM PEMBATALAN PENDAFTARAN MEREK TERHADAP HAK PENERIMA LISENSI MEREK MENURUT UU NO. 15 TAHUN 2001

Agus Mardianto
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Jawa Tengah
E-mail : agusmardianto39@yahoo.co.id

Abstract
Globalisasi perdagangan telah membuat merek dagang menjadi sangat penting. sebuah merek dagang adalah tanda yang berfungsi sebagai dibedakan dari orang lain, jaminan kualitas dan sumber asal. Pemilik merek dagang terdafatar memiliki hak eksklusif untuk menggunakan merek dagang dalam jangka waktu tertentu atau membarikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Izin kepada pihak lain atau lisensi, harus diberikan melalui surat persetujuan untuk izin untuk menggunakan (tidak mengalihkan kepemilikan) untuk jangka waktu tertentu. Pendaftaran merek dagang dalam daftar umum merek dagang dapat dibatalkan atas permintaan dengan argumen bahwa merek dagang memiliki kesamaan dasar dengan merek dagang terdaftar sebelumnya, atau pendaftaran itu dibuat untuk maksud kejam. Pembatalan hasil pendaftaran merek dagang penghentian perjanjian lisensi merek dagang, namun penerima lisensi dapat berhak sampai selesainya masa perjanjian.

Keywords : hak eksklusif, perjanjian lisensi, pemegang lisensi.

Pendahuluan
Pengaruh globalisasi di segala bidang kehidupan masyarakat, baik dibidang sosial, ekonomi, maupun budaya semakin mendorong laj perkembangan perekonomian masyarakat. Di samping itu, dengan semakin meningkatnya Perkembangan TI dan Sarana Transportasi telah menjadikan kegiatan disektor perdagangan barang maupun jasa meningkat secara pesat. Kecenderungan meningkatnya arus perdagangan barang dan jasa tersebut akan terus berlangsung sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin baik. Beberapa negara semakin mengandalkan kegiatan ekonomi dan perdagangannya pada produk-produk yang dihasilkan atas dasar kemampuan intelektual manusia.
Dalam era perdagangan global, peranan merek menjadi penting terutama untuk menjaga persaingan bisnis yang sehat. Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Tidak semua tanda dapat didaftar sebagai merek. Hanya tanda-tanda yang memenuhi syarat yang dapat didaftar sebagai merek, seperti mempunyai daya pemebeda; tanda tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umu; bukan tanda bersifat umum dan tidak menjadi milik umum; atau bukan merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya; tanda tersebut juga tidak mempunyai persamaan dengan merek lain yang terdaftar terlebih dahulu.
Fungsi Merek adalah sebagai tanda pengenal untuk membedakan produk perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lainnya, sarana promosi dagang, jaminan atas mutu barang atau jasa, dan penunjuk asal barang atau jasa yang di hasilkan,
Pasal 3 UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek menyebutkan bahwa Hak Merek adalah hak eksklusif yang di berikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dangan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.
Hak Merek diberikan oleh Negara karena Hak Merek tidak lahir scara otomatis seperti halnya Hak Cipta. Hak Merek lahir karena pendaftara. Perlindungan hukum merek hanya akan berlangsung apabila hal tersebut dimintakan pendaftaran, karena pendafataran adalah mutlak. Tanpa ada pendaftaran tidak ada hak merek dan juga perlindungan. Pemilik merek terdaftar dapat menggunakan sendiri mereknya untuk jangka waktu 10 tahun dan jangka waktu perlindungan tersebut dapat diperpanjang kembali.
Hak Merek juga dapat di alihkan haknya dengan cara pewarisan, wasiat, hibah, perjanjian, atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
Selain itu Pemilik merek terdaftar dapat memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakan hak mereknya. Pemeberian izin inilah yang di sebut Lisensi.

Pembahasan

Lisensi Merek
Pengertian Lisensi menurut Pasal 1 angka 13 UU Merek adalah izin yang diberikan oleh pemilik merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan Pengalihan Hak) untuk menggunakan merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.
Secara harfiah lisensi mengandung arti sebagai suat ijin (hak atau wewenang) yang diberikan oleh pihak yang berwenang atau pihak yang berhak kepada pihak lain untuk melakukan suatu perbuatan atau berbagai macam perbuatan hukum atas sebidang tanah yang bukan miliknya. Perbuatan-perbuatan hukum tersebut apabila dilakukan tanpa ijin dari si pemilik hak merupakan suau perbuatan yang tidak sah (illegal), perbuatan yang salah atau pelanggaran (trespass), perbuatan yang menimbulkan kerugian (tort) atau perbuatan-perbuatan lain yang termasuk dalam kategori perbuatan yang tidak diperbolehkan (not be allowed).
Banyak pertimbangan yang dipakai untuk pembuatan perjanjian lisensi seperti :
  1. Lisensi menambah sumber daya pengusaha pemberi lisensi secara tidak langsung ;
  2. Lisensi memungkinkan perluasan wilayah usaha secara tidak terbatas ;
  3. Lisensi memperluas pasar ;
  4. Lisensi mempercepat proses pengembanagn usaha bagi industri padat modal ;
  5. Penyebaran produk lebih mudah
  6. Dapat mengurangi tingkat kompetisi hingga pada suatu batas tertentu
  7. Pihak pemebri dan penerima lisensi dapat melakukan trade off (barter) teknologi
  8. Pemberi lisensi memungkinkan pemberi lisensi untuk sampai pada batas tertentu melakukan kontrol atas pengelolaan kegiatan usaha yang dilisensikan.
Pasal 43 ayat (1) UU Merek  menyebutkan bahwa pemilik merek terdaftar berhak memberikan lisensi kepada pihak lain dengan perjanjian bahwa penerima lisensi akan menggunakan merek tersebut untuk sebagian atau seluruh jenis barang atau jasa. Lahirnya hubungan hukum para pihak dalam pemberian lisensi harus dituangkan dalam perjanjian. Perjanjian tersebut tunduk spenuhnya pada hukum perjanjian yang terdapat dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Hubungan hukum yang timbul karena perjanjian lisensi demikian penting, maka sebaiknya perjanjian ini dibuat dalam bentuk akta otentik. Ada beberapa hal yang harus dimuat dalam perjanjian lisensi, yakni :
  1. Nama dan alamat para pihak yang mengadakan perjanjian lisensi
  2. Merek dan nomor pendaftaran
  3. Ketentuan mengenai :
  • Jangka waktu perjanjian lisensi
  • Dapat atau tidaknya jangka waktu perjanjian lisensi di perpanjang
  • Penggunaan mereknya untuk seluruh atau sebagian jenis barang atau jasa yang termasuk dalam satu kelas
  • Jumlah royalty dan tata cara pembayarannya
  • Dapat atau tidaknya penerima lisensi memberikan lisensi lanjut kepada pihak ketiga
  • Kewajiban pemberi lisensi untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap mutu barang yang di produksi dan di perdagangkan
  • Batas wilayah berlakunya perjanjian lisensi, apabila di perjanjikan
Penting untuk diperhatikan agar perjanjian lisensi dapat berjalan dengan baik adalah pengaturan mengenai hak dan kewajiban licensor  dan  licensee secara rinci. Hak dan kewajiban pemberi lisensi adalah :
  • Menerima pembayar royalty sesuai dengan perjanjian
  • Menuntut pembatalan lisensi merek
  • Menjamin penggunaan merek dari cacat hukum atau gugatan dari pihak ketiga
  • Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap mutu barang atau jasa hasil produksi penerima lisensi
  • Meminta persetujuan kepada penerima lisensi
  • Pembatalan perjanjian lisensi merek
Sedangkan hak dan kewajiban penerima lisensi adalah :
  • Menggunakan merek yang dilisensikan sesuai jangka waktu
  • Menuntut pembayaran kembali royalty yang telah dibayarkan penerima lisensi kepada pemilik merek
  • Memberi lisensi lebih lanjut kepda pihak ketiga
  • Menuntut pembatalan lisensi merek
  • Membayar royalty sesuai perjanjian
  • Meminta pencatatan perjanjian lisensi kepada Kantor Merek
  • Menjaga mutu barang atau jasa hasil produksinya sesuai dengan standar mutu barang atau jasa atas merek yang dilisensikan.
Pembatalan Pendaftaran Merek
Pembatalan pendaftaran hak merek hanya dapat di ajukan oleh pihak yang berkepentingan atau oleh pihak merek, baik dalam bentuk permohonan kepada Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual atau gugatan kepada pengadilan Niaga, dengan dasar alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, atau Pasal 6 UU Merek yang mengatur mengenai merek yang tidak dapat di daftarakan dan merek yang tidak dapat di daftarkan dan merek yang ditolak pendaftarannya.

Akibat Pembatalan Pendaftaran Merek terhadap Hak Penerima Lisensi Merek
Pembatalan pendaftaran merek akan berakibat berakhirnya perjanjian lisensi yang dibuat . walaupun demikian hak penerima masih di lindungi, hal ini dapat dilihat dalam pas 48 UU Merek yang menentukan sebagai berikut :
  1. Penerima lisensi yang beritikad baik, tetapi kemudian Merek itu dibatalkan atas dasar adanya persamaan pada pokok atau keseluruhannya dengan Merek lain yang terdaftar, tetap berhak melaksanakan perjanjian  lisensi tersebut sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian lisensi
  2. Penerima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak lagi wajib meneruskan pembayaran royalty kepada pemberi lisensi yang dibatalkan, melainkan wajib melaksanakan pembayarn royalty kepada pemilik merek yang dibatalkan
  3. Dalam hal pemberi Lisensi sudah terlebih dahulu menerima royalty secara sekaligus dari penerima Lisensi,  pemberi Lisensi tersebut wajib menyerahkan bagian dari royalti yang diterimanya kepada pemilik Merek yang tidak di batalkan, yang besarnya sebanding dengan sisa jangka waktu perjanjian Lisensi.
Apabila dalam pelaksanaan perjanjian lisensi tersebut terjadi gugatan pembatalan terhadap kepemilikan merek yang ditujukan kepada pemilik merek sekaligus pemberi lisensi merek, maka kedudukan dari pihak penerima lisensi merek tidak akan terpengaruh oleh putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap terhadap sengketa gugatan merek tersebut. Apabila kedudukan pemberi lisensi merek sebagai pemilik merek dibatalkan melalui putusan hakim pengadilan niaga yang berkekuatan hukum tetap, maka pihak penerima lisensi merek akan tetap dapat melaksanakan perjanjian lisensi tersebut dan dengan persyaratan bahwa pembayaran royalti pada periode selanjutnya akan dilanjutkan kepada pihak yang dinyatakan sebagai pemilik merek yang sah.

Penutup

Kesimpulan
Pembatal Pendaftaran Merek berakibat berakhirnya perjanjian lisensi merek, akan tetapi pembataln pendaftaran merek tidak berakibat hapusnya hak penerima lisensi merek. Pasal 48 UU Merek memberikan perlindungan terhadap hak penerima lisensi merek yang beritikad baik yang mencatatkan perjanjian lisensi yang dibuatnya pada Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual. Penerimaan lisensi merek tersebut teteap berhak melaksanakan perjanjian Lisensi sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian lisensi.

Sumber :