Kamis, 28 November 2013

Undang-Undang Kode Etik Akuntan Publik Dalam Menghadapi Era IFRS

Prinsip Etika Profesi Ikatan Akuntansi Indonesia

01.    Keanggotaan dalam Ikatan Akuntan Indonesia bersifat sukarela. Dengan menjadi anggota, seorang akuntan mempunyai kewajiban untuk menjaga disiplin diri di atasdan melebihi yang disyaratkan oleh hukum clan peraturan.
02.    Prinsip Etika Profesi dalam Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia menyatakan pengakuan profesi akan tanggung jawabnya kepada publik, pemakai jasa akuntan, dan rekan. Prinsip ini memandu anggota dalam memenuhi tanggung-jawab profesionalnya dan merupakan landasan dasar perilaku etika dan perilaku profesionalnya. Prinsip ini meminta komitmen untuk berperilaku terhormat, bahkan dengan pengorbanan keuntungan pribadi
Prinsip Pertama - Tanggung Jawab Prolesi
01.     Dalam melaksanakan tanggung-jawabnya sebagai profesional setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatanyang dilakukannya. Sebagai profesional, anggota mempunyai peran penting dalam masyarakat. Sejalandengan peranan tersebut, anggota mempunyai tanggung jawab kepada semua pemakai jasa profesional mereka. Anggota juga harus selalu bertanggung jawab untuk bekerjasarna dengan sesama anggota untuk mengembangkan profesi akuntansi, memeliharakepercayaan masyarakat, dan menjalankan tanggung-jawab profesi dalam mengatur dirinya sendiri. Usaha kolektif semua anggota diperlukan untuk memelihara danmeningkatkan tradisi profesi.
Prinsip Kedua - Kepentingan Publik
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanankepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme.
01.   Satu ciri utama dari suatu profesi adalah penerimaan tanggung jawab kepada publik. Profesi akuntan memegang peranan yang penting di masyarakat, di mana publik dari profesi akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan, dan pihak lainnya bergantung kepaclaobyektivitas dan integritas akuntan dalam memelihara berjalannya fungsi bisnissecara tertib. Ketergantungan ini menimbulkan tanggung-jawab akuntan terhadapkepentingan publik. Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentinganmasyarakat dan institusi yang dilayani anggota secara keseluruhan. Ketergantungan ini menyebabkan sikap dan tingkah laku akuntan dalam menyediakan jasanyamempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat dan negara.
02.   Profesi akuntan dapat tetap berada pada posisi yang penting ini hanya dengan terusmenerus memberikan jasa yang unik ini pada tingkat yang menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat dipegang teguh. Kepentingan utama profesi akuntan adalahuntuk membuat pemakai jasa akuntan paham bahwa jasa akuntan dilakukan dengantingkat prestasi tertinggi dan sesuai dengan persyaratan etika yang diperlukan untuk mencapai tingkat prestasi tersebut.
03.   Dalam mememuhi tanggung-jawab profesionalnya, anggota mungkin menghadapitekanan yang saling berbenturan dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Dalammengatasi benturan ini, anggota harus bertindak dengan penuh integritar, dengansuatu keyakinan bahwa apabila anggota memenuhi kewajibannya kepada publik,maka kepentingan penerima jasa terlayani dengan sebaik-baiknya.
04.   Mereka yang memperoleh pelayanan dari anggota mengharapkan anggota untuk memenuhi tanggungjawabnya dengan integritas, obyektivitas, keseksamaan profesional, dan kepentingan untuk melayani publik. Anggota diharapkan untuk memberikan jasa berkualitas, mengenakan imbalan jasa yang pantas, sertamenawarkan berbagai jasa, semuanya dilakukan dengan tingkat profesionalisme yangkonsisten dengan Prinsip Etika Profesi ini.
05.   Semua anggota mengikat dirinya untuk menghormati kepercayaan publik. Ataskepercayaan yang diberikan publik kepadanya, anggota harus secara terus-menerusmenunjukkan dedikasi mereka untuk mencapai profesionalisme yang tinggi.
06.   Tanggung-jawab seorang akuntan tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhanklien individual atau pemberi kerja. Dalam melaksanakan tugasnya seorang akuntanharus mengikuti standar profesi yang dititik-beratkan pada kepentingan publik, misalnya:
·         Auditor independen membantu memelihara integritas dan efisiensi dari laporankeuangan yang disajikan kepada lembaga keuangan untuk mendukung pemberian pinjaman dan kepada pemegang saham untuk memperoleh modal;
·         Eksekutif keuangan bekerja di berbagai bidang akuntansi manajemen dalamorganisasi dan memberikan kontribusi terhadap efisiensi dan efektivitas dari penggunaan sumber daya organisasi;
·         Auditor intern memberikan keyakinan ten tang sistem pengendalian internal yang baik untuk meningkatkan keandalan informasi keuangan dari pemberi kerjakepada pihak luar.
·         Ahli pajak membantu membangun kepercayaan dan efisiensi serta penerapan yangadil dari sistem pajak; dan
·         Konsultan manajemen mempunyai tanggung-jawab terhadap kepentingan umumdalam membantu pembuatan keputusan manajemen yang baik.
Prinsip Ketiga – Integritas
Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin.
01.  Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik danmerupakan patokan (benchmark) bagi anggota dalam menguji semua keputusan yang diambilnya.
02.  Integritas mengharuskan seorang anggota untuk, antara lain, bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas dapat menerimakesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak dapat menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.
03.  Integritas diukur dalam bentuk apa yang benar dan adil. Dalam hal tidak terdapat aturan, standar, panduan khusus atau dalam menghadapi pendapat yang bertentangan, anggotaharus menguji keputusan atau perbuatannya dengan bertanya apakah anggota telah melakukan apa yang seorang berintegritas akan lakukan dan apakah anggota telah menjaga integritas dirinya. Integritas mengharuskan anggota untuk menaati baik bentuk maupun jiwa standar teknis dan etika.
04.  Integritas juga mengharuskan anggota untuk mengikuti prinsip obyektivitas dan kehati-hatian profesional.
Prinsip Keempat – Obyektivitas
Setiap anggota harus menjaga obyektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.
01. Obyektivitas adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau berada di bawah pengaruh pihak lain.
02. Anggota bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan harus menunjukkan obyektivitas mereka dalam berbagai situasi. Anggota dalam praktik publik  memberikan jasa atestasi, perpajakan, serta konsultasi manajemen. Anggota yang lain menyiapkan laporan keuangan sebagai seorang bawahan, melakukan jasa audit internal dan bekerja dalam kapasitas keuangan dan manajemennya di industri, pendidikan dan pemerintahan. Mereka juga mendidik dan melatih orang-orang yang ingin masuk ke dalam profesi. Apapun jasa atau kapasitasnya, anggota harus melindungi integritas pekerjaannya dan memelihara obyektivitas.
03. Dalam menghadapi situasi dan praktik yang secara spesifik berhubungan dengan aturan etika sehubungan dengan obyektivitas, pertimbangan yang cukup harus diberikan terhadap faktor-faktor berikut:
a.    Adakalanya anggota dihadapkan kepada situasi yang memungkinkan mereka menerimatekanan-tekanan yang diberikan kepadanya. Tekanan ini dapat mengganggu obyektivitasnya.
b.    Adalah tidak praktis untuk menyatakan dan menggambarkan semua situasi dimana tekanan-tekanan ini mungkin terjadi. Ukuran kewajaran (reasonableness) harus digunakan dalam menentukan standar untuk mengindentifikasi hubungan yang mungkinatau kelihatan dapat merusak obyektivitas anggota. 
c.    Hubungan-hubungan yang memungkinkan prasangka, bias atau pengaruh lainnya untuk melanggar obyektivitas harus dihindari.
d.   Anggota memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa orang-orang yang terilbat dalam pemberian jasa profesional mematuhi prinsip obyektivitas.
e.    Anggota tidak boleh menerima atau menawarkan hadiah atau entertainment yang dipercaya dapat menimbulkan pengaruh yang tidak pantas terhadap pertimbangan profesional mereka atau terhadap orang-orang yang berhubungan dengan mereka. Anggota harus menghindari situasi-situasi yang dapat membuat posisi profesional mereka ternoda.
Prinsip Kelima - Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya tkngan kehati-hatian, kompetensidan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan danketerampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klienatau pemberi kerja memperoleh matifaat dari jasa profesional yang kompeten berdasarkan perkembangan praktik, legislasi dan teknik yang paling mutakhir.
01.     Kehati-hatian profesional mengharuskan anggota untuk memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan kompetensi dan ketekunan. Hal ini mengandung arti bahwaanggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan jasa profesional dengan sebaik- baiknya sesuai dengan kemampuannya, derni kepentingan pengguna jasa dankonsisten dengan tanggung-jawab profesi kepada publik.
02.     Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Anggota seyogyanyatidak menggambarkan dirinya mernilki keahlian atau pengalaman yang tidak mereka punyai. Dalam semua penugasan dan dalam semua tanggung-jawabnya, setiapanggota harus melakukan upaya untuk mencapai tingkatan kompetensi yang akanmeyakinkan bahwa kualitas jasa yang diberikan memenuhi tingkatan profesionalismetinggi seperti disyaratkan oleh Prinsip Etika. Kompetensi profesional dapat dibagimenjadi 2 (dua) fase yang terpisah:
a.           Pencapaian Kompetensi Profesional. Pencapaian kompetensi profesional pada awalnyamemerlukan standar pendidikan umum yang tinggi, diikuti oleh pendidikan khusus, pelatihan dan ujian profesional dalam subyek-subyek yang relevan, dan pengalamankerja. Hal ini harus menjadi pola pengembangan yang normal untuk anggota.
b.          Pemeliharaan Kompetensi Profesional.
·           Kompetensi harus dipelihara dan dijaga melalui kornitmen untuk belajar danmelakukan peningkatan profesional secara berkesinambungan selama kehidupan profesional anggota.
·           Pemeliharaan kompetensi profesional memerlukan kesadaran untuk terusmengikuti perkembangan profesi akuntansi, termasuk di antaranya pernyataan- pernyataan akuntansi, auditing dan peraturan lainnya, baik nasional maupuninternasional yang relevan.
·           Anggota harus menerapkan suatu program yang dirancang untuk memastikanterdapatnya kendali mutu atas pelaksanaan jasa profesional yang konsistendengan standar nasional dan internasional.
03.            Kompetensi menunjukkan terdapatnya pencapaian dan pemeliharaan suatu tingkatan pemahaman dan pengetahuan yang memungkinkan seorang anggota untuk memberikan jasa dengan kemudahan dan kecerdikan. Dalam hal penugasan profesional melebihi kompetensi anggota atau perusahaan, anggota wajib melakukankonsultasi atau menyerahkan klien kepada pihak lain yang lebih kompeten. Setiapanggota bertanggung jawab untuk menentukan kompetensi masing-masing ataumenilai apakah pendidikan, pengalaman dan pertimbangan yang diperlukan memadai untuk tanggung jawab yang harus dipenuhinya.
04.            Anggota harus tekun dalam memenuhi tanggung-jawabnya kepada penerima jasadan publik. Ketekunan mengandung arti pemenuhan tanggung-jawab untuk memberikan jasa dengan segera dan berhati-hati, sempurna dan mematuhi standar teknis dan etika yang berlaku.
05.            Kehati-hatian profesional mengharuskan anggota untuk merencanakan danmengawasi secara seksama setiap kegiatan profesional yang menjadi tanggung- jawabnya.
Prinsip Keenam – Kerahasiaan
Setiap anggota harus, menghormati leerahasiaan informas iyang diperoleh selamamelakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasitersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukumuntuk mengungkapkannya
01.   Anggota mempunyai kewajiban untuk menghormati kerahasiaan informasi tentangklien atau pemberi kerja yang diperoleh melalui jasa profesional yang diberikannya.Kewajiban kerahasiaan berlanjut bahkan setelah hubungan antara anggota dan klienatau pemberi kerja berakhir.
02.   Kerahasiaan harus dijaga oleh anggota kecuali jika persetujuan khusus telahdiberikan atau terdapat kewajiban legal atau profesional untuk mengungkapkaninformasi.
03.   Anggota mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa staf di bawah pengawasannya dan orang-orang yang diminta nasihat dan bantuannya menghormati prinsip kerahasiaan.
04 Kerahasiaan tidaklah semata-mata masalah pengungkapan informasi. Kerahasiaan juga mengharuskan anggota yang memperoleh informasi selama melakukan jasa profesional tidak menggunakan atau terlihat menggunakan informasi terse but untuk keuntungan pribadi atau keuntungan pihak ketiga.
05. Anggota yang mempunyai akses terhadap informasi rahasia ten tang penerima jasatidak boleh mengungkapkannya ke publik. Karena itu, anggota tidak boleh membuatpengungkapan yang tidak disetujui (unauthorized disclosure) kepada orang lain. Halini tidak berlaku untuk pengungkapan informasi dengan tujuan memenuhi tanggung- jawab anggota berdasarkan standar profesional.
06. Kepentingan umum dan profesi menuntut bahwa standar profesi yang berhubungandengan kerahasiaan didefinisikan dan bahwa terdapat panduan mengenai sifat danluas kewajiban kerahasiaan serta mengenai berbagai keadaan di mana informasi yangdiperoleh selama melakukan jasa profesional dapat atau perlu diungkapkan.
07.   Berikut ini adalah contoh hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam menentukansejauh mana informasi rahasia dapat diungkapkan.
a.  Apabila pengungkapan diizinkan. Jika persetujuan untuk mengungkapkan diberikan oleh penerima jasa, kepentingan semua pihak termasuk pihak ketiga yang kepentingannyadapat terpengaruh harus dipertimbangkan.
b.   Pengungkapan diharuskan oleh hukum. Beberapa contoh di mana anggota diharuskanoleh hukum untuk mengungkapkan informasi rahasia adalah:
·           Untuk menghasilkan dokumen atau memberikan bukti dalam proses hukum; dan
·           Untuk mengungkapkan adanya pelanggaran hukum kepada publik.
c.         Ketika ada kewajiban atau hak profesional untuk mengungkapkan:
· Untuk mematuhi standar teknis dan aturan etika; pengungkapan seperti itu tidak  bertentangan dengan prinsip etika ini;
· Untuk melindungi kepentingan profesional anggota dalam sidang pengadilan;
· Untuk menaati peneleahan mutu (atau penelaahan sejawat) iai atau badan profesionallainnya;.dan
· Untuk menanggapi permintaan atau investigasi oleh IAI atau badan pengatur.
 Prinsip Ketujuh - Perilaku Profesional
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik danmenjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi:
Prinsip Kedelapan - Standar Teknis
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar proesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasaselama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas.
01.     Standar teknis dan standar profesional yang hams ditaati anggota adalah standar yangdikeluarkan oleh lkatan Akuntan Indonesia, International Federation of Accountants, badan pengatur, dan peraturan perundang-undangan yang relevan.
Prinsip-prinsip
NC IFRS 1: Waktu Adopsi Pertama Standar Pelaporan Keuangan Internasional (efektif 2010)
Menurut perbandingan, Deloitte 2009 ada standar khusus di adopsi pertama kali Internasional Standar Pelaporan Keuangan ada dalam kerangka akuntansi Belanda.
NC IFRS 2: Pembayaran berbasis Saham (efektif 2010)
Menurut perbandingan Deloitte 2009, tidak seperti IFRS, "mengandung DASS pengobatan alternatif yang memungkinkan untuk mengukur pembayaran berbasis ekuitas saham dengan karyawan sebesar nilai intrinsik mereka pada tanggal pemberian opsi dan nilai ini diakui langsung sebagai beban" (hal. 6).
NC IFRS 3: Penggabungan Usaha (efektif 2010)
Menurut perbandingan Deloitte 2009, ada banyak perbedaan antara kerangka kerja akuntansi internasional dan Belanda. Sebagai contoh, tidak seperti kerangka internasional, "metode pembelian diperlukan untuk kombinasi diklasifikasikan sebagai akuisisi dan metode penyatuan kepemilikan diperlukan untuk kombinasi diklasifikasikan sebagai penyatuan kepemilikan" (hal. 6). Tahun 2006 laporan KPMG poin perbedaan lainnya, yang meliputi, namun tidak terbatas pada, akuntansi kewajiban untuk restrukturisasi pasca-akuisisi direncanakan, kewajiban kontingen diakuisisi, berwujud, aktiva pajak tangguhan dan kewajiban, goodwill, biaya akuisisi, pertimbangan kontingen , goodwill dan non pengendalian bunga dll
NC IFRS 4: Asuransi Kontrak (efektif 2006)
Menurut perbandingan Deloitte 2009, DASB telah mengeluarkan standar akuntansi untuk kontrak asuransi, namun banyak perbedaan yang ada antara standar internasional dan Belanda.
NC IFRS 5: Tidak Lancar Aktiva yang Dimiliki untuk Dijual dan Operasi yang Dihentikan (efektif 2010)
Menurut perbandingan Deloitte 2009, tidak seperti kerangka internasional, "tidak ada persyaratan untuk aktiva tidak lancar yang dimiliki untuk dijual (atau kelompok lepasan)" (hal. 8).
NC IFRS 6: Eksplorasi dan Evaluasi Sumber Daya Mineral (efektif 2006)
Menurut laporan KPMG 2006, ada banyak perbedaan antara IFRS 6 dan pedoman Belanda setara. Sebagaimana dijelaskan dalam laporan, "tidak seperti SAK, tidak ada pedoman khusus disediakan untuk eksplorasi dan evaluasi (E & E) pengeluaran, dan standar umum berlaku" (hal. 119).
NC IFRS 7: Instrumen Keuangan: Pengungkapan (efektif 2009)
Menurut perbandingan Deloitte 2009, perbedaan ada dalam akuntansi untuk pengungkapan keuangan antara standar internasional dan Belanda.
NC IFRS 8: Segmen Operasi (efektif 2010)
Menurut perbandingan Deloitte 2009, perbedaan ada dalam pengukuran informasi segmen antara standar internasional dan Belanda.
NC IAS 1: Penyajian Laporan Keuangan (efektif 2010)
Menurut perbandingan Deloitte 2009, ada banyak perbedaan antara kerangka kerja akuntansi internasional dan Belanda. Sebagai contoh, tidak seperti IFRS, "format preskriptif dari neraca dan perhitungan laba rugi yang berlaku" (hal. 8).
NC IAS 2: Persediaan (efektif 2005)
Menurut perbandingan Deloitte 2009, ada perbedaan dalam pengukuran persediaan dan dalam metode penentuan biaya antara standar internasional dan Belanda.
NC IAS 7: Laporan Arus Kas (efektif 2010)
Menurut perbandingan Deloitte 2009, tidak seperti IFRS, hanya entitas besar dan menengah diwajibkan untuk menyajikan laporan arus kas dalam kerangka Belanda.
NC IAS 8: Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi dan Kesalahan (efektif 2005)
Menurut perbandingan Deloitte 2009, ada perbedaan antara kerangka kerja internasional dan Belanda di akuntansi untuk mengoreksi kesalahan. Sebagai contoh, laporan ini mencatat bahwa tidak seperti IFRS, dalam kerangka Belanda "kesalahan mendasar harus diakui secara retrospektif di set pertama laporan keuangan untuk diterbitkan setelah penemuan mereka. Kesalahan material lain diakui dalam laporan laba rugi "(hal. 9).
NC IAS 10: Peristiwa setelah Periode Pelaporan (efektif 2005)
Menurut perbandingan Deloitte 2009, "neraca harus dibuat sebelum atau setelah penggunaan laba. Jika pilihan terakhir digunakan, perbedaan dengan SAK bisa muncul, karena suatu entitas diperbolehkan untuk menyajikan Dividen yang diusulkan sebagai kewajiban pada tanggal neraca "(hal. 9).
NC IAS 11: Kontrak Konstruksi (efektif 1995)
Menurut perbandingan Deloitte 2009, ada perbedaan antara kerangka kerja internasional dan Belanda berkenaan dengan definisi kontrak konstruksi.
EN IAS 12: Pajak Penghasilan (efektif 2001)
Menurut perbandingan Deloitte 2009, ada perbedaan antara kerangka kerja internasional dan Belanda berkenaan dengan definisi kontrak konstruksi.
NC IAS 16: Aktiva Tetap (revisi 2009)
Menurut perbandingan Deloitte 2009, ada perbedaan antara kerangka kerja internasional dan Belanda berkenaan dengan akuntansi untuk biaya pembongkaran, restorasi dan kewajiban semacam itu; inspeksi utama dan pemeliharaan dan; dan penjualan barang-barang yang dimiliki untuk sewa.
NC IAS 17: Sewa (efektif 2010)
Menurut publikasi KPMG 2006, ada beberapa perbedaan antara GAAP Belanda dan IAS 17. Publikasi 2009 Deloitte tidak menangani masalah kepatuhan GAAP Belanda dengan IAS 17.
NC PSAK 18: Pendapatan (efektif 1995)
Menurut perbandingan Deloitte 2009, tidak seperti kerangka internasional, GAAP Belanda tidak mengandung persyaratan khusus pada program-program loyalitas pelanggan.
NC IAS 19: Imbalan Kerja (revisi 2009)
Menurut perbandingan Deloitte 2009, perbedaan antara kerangka kerja internasional dan Belanda yang ada berkenaan dengan akuntansi untuk rencana imbalan pasca-kerja. Sebagai contoh, seperti yang dijelaskan dalam laporan tersebut, tidak seperti IFRS, "dalam laporan laba rugi dan account, badan hukum harus mengakui kontribusi yang akan dibayarkan ke pemberi pensiun sebagai beban" (hal. 10).
NC IAS 20: Akuntansi Pemerintah dan Pengungkapan Hibah Bantuan Pemerintah (revisi 2009)
Menurut perbandingan Deloitte 2009, tidak seperti IFRS, GAAP Belanda yang tidak mengandung persyaratan khusus berkenaan dengan akuntansi untuk hibah pemerintah non-moneter dan pinjaman pemerintah di tingkat bawah-pasar.
NC IAS 21: Pengaruh Perubahan Tukar Mata Uang Asing (efektif 2005)
Menurut perbandingan Deloitte 2009, hanya ada sedikit perbedaan antara IAS 21 dan GAAP Belanda berkenaan dengan akuntansi "goodwill yang timbul sebagai akibat dari akuisisi entitas asing dan penyesuaian nilai wajar pada nilai tercatat aktiva dan kewajiban yang timbul sebagai akibat dari akuisisi "dan" jumlah kumulatif selisih kurs yang ditangguhkan dalam komponen terpisah dari ekuitas yang berkaitan dengan kegiatan operasi luar negeri dijual "(hal. 11).
NC IAS 23: Biaya Pinjaman (revisi 2009)
Menurut laporan Deloitte 2009, ada perbedaan antara persyaratan internasional dan Belanda GAAP terutama karena tidak seperti IFRS, dimana kapitalisasi adalah wajib, dalam kerangka kapitalisasi Belanda adalah pilihan kebijakan akuntansi yang tersedia.
NC IAS 24: Pengungkapan Pihak Terkait (efektif 2005)
Menurut perbandingan Deloitte 2009, ada perbedaan antara kerangka kerja internasional dan Belanda berkenaan dengan pengungkapan pihak terkait.
II IAS 26: Akuntansi dan Pelaporan oleh Rencana Manfaat Pensiun (efektif 1998)
Ada informasi publik yang tersedia tidak cukup mengatasi prinsip ini
NC IAS 27: Laporan dan Laporan Keuangan Tersendiri (efektif 2010)
Menurut perbandingan Deloitte 2009, ada perbedaan antara IAS 27 dan persyaratan Belanda terkait. Beberapa daerah di mana kerangka Belanda berbeda termasuk (tetapi tidak mencakup semua) persyaratan konsolidasi untuk anak perusahaan, kelompok-kelompok kecil berukuran dan kepemilikan menengah. Perbedaan juga diamati dalam persyaratan untuk laporan keuangan tersendiri.
NC IAS 28: Investasi pada Perusahaan Asosiasi (revisi 2009)
Menurut perbandingan Deloitte 2009, banyak perbedaan yang diamati antara persyaratan internasional dan Belanda. Beberapa perbedaan tersebut meliputi tapi tidak mencakup semua, perbedaan dalam definisi asosiasi, pengukuran asosiasi, pengukuran non-asosiasi dan investasi pada perusahaan asosiasi diklasifikasikan sebagai dimiliki untuk dijual dll
NC IAS 29: Pelaporan Keuangan di Hyperinflationary Ekonomi (revisi 2009)
Menurut publikasi, KPMG 2006 "seperti SAK, ketika mata uang fungsional entitas adalah hyperinflationary laporan keuangan tersebut harus disesuaikan untuk menyatakan semua item dalam unit pengukuran saat ini pada tanggal neraca" (hal. 19). Namun, perbedaan memang ada. Deloitte tidak menangani masalah kepatuhan GAAP Belanda dengan IAS 29
NC IAS 31: Partisipasi dalam Joint Ventures (revisi 2009)
Menurut perbandingan Deloitte 2009, ada perbedaan antara IAS 31 dan persyaratan Belanda terkait sehubungan dengan konsolidasi untuk usaha patungan, laporan keuangan terpisah untuk usaha patungan, dan akuntansi untuk kehilangan pengendalian bersama.
NC IAS 32: Instrumen Keuangan: Penyajian dan Pengungkapan (efektif 2010)
Menurut perbandingan Deloitte 2009, ada perbedaan antara IAS 32 dan persyaratan Belanda terkait sehubungan dengan klasifikasi instrumen sebagai ekuitas atau kewajiban, akuntansi untuk saham preferensi, dan akuntansi untuk instrumen puttable sebesar nilai wajar.
NC IAS 33: Laba per Saham (efektif 2005)
Menurut publikasi KPMG 2006, GAAP Belanda berbeda dari IAS 33. Sebagaimana dijelaskan dalam laporan, "tidak seperti SAK, tidak ada persyaratan untuk menyajikan EPS untuk diskon operasi" (hal. 97). Publikasi 2009 Deloitte tidak menangani masalah kepatuhan GAAP Belanda dengan IAS 33.
EN IAS 34: Pelaporan Keuangan Interim (efektif 1999)
Menurut publikasi KPMG 2006, GAAP Belanda dan IAS 34 sangat mirip. Publikasi 2009 Deloitte tidak menangani masalah kepatuhan GAAP Belanda dengan IAS 34.
NC IAS 36: Penurunan Nilai Aktiva (revisi 2009)
Menurut perbandingan Deloitte 2009, ada perbedaan antara internasional dan persyaratan Belanda sesuai berkenaan dengan waktu tes penurunan; mengalokasikan goodwill untuk unit penghasil kas dan penyesuaian kembali dari kerugian penurunan nilai goodwill.
NC PSAK 37: Ketentuan, Kewajiban Kontinjensi dan Aset Kontinjensi (efektif 1999)
Menurut perbandingan Deloitte 2009, ada banyak perbedaan antara PSAK 37 dan persyaratan Belanda sesuai dengan hormat dengan akuntansi biaya pemeliharaan yang besar, penyisihan reorganisasi, pengukuran atau ketentuan dan bunga.
NC IAS 38: Aktiva Tidak Berwujud (efektif 2010)
Menurut perbandingan Deloitte 2009, ada perbedaan antara IAS 38 dan persyaratan Belanda sesuai dengan hormat dengan akuntansi masa manfaat berwujud; iklan dan promosi kegiatan, dan pengujian penurunan nilai.
NC PSAK 39: Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran (efektif 2010)
Menurut perbandingan Deloitte 2009, ada banyak perbedaan antara persyaratan Belanda internasional dan sesuai. Beberapa bidang perbedaan termasuk (tetapi tidak mencakup semua) klasifikasi aset keuangan; klasifikasi kewajiban keuangan; pengukuran aset keuangan; pengukuran aset keuangan, dan perubahan karena akuntansi nilai wajar dll
NC IAS 40: Properti Investasi (efektif 2009)
Menurut perbandingan Deloitte 2009, perbedaan antara persyaratan Belanda internasional dan sesuai dengan hormat dengan akuntansi untuk perubahan nilai wajar properti investasi dinyatakan sebesar nilai wajar.
NC IAS 41: Pertanian (efektif 2009)

Kamis, 07 November 2013

REVIEW JURNAL : SIKAP ETIS AKUNTAN DAN PENGGUNA JASA AKUNTAN TERHADAP PRAKTIK MANAJEMEN LABA

SIKAP ETIS AKUNTAN
DAN PENGGUNA JASA AKUNTAN
TERHADAP PRAKTIK MANAJEMEN LABA
Oleh :
Warsito Ka wedar
Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro
Pendahuluan
Dilihat dan perspektif etika, manajemen laba merupakan salah satu masalah penting dalam dunia bisnis yang kontroversional. Pelaksanaan aktivitas manajemen laba menimbulkan pertanyaan mengenai etika bagi manajemen sebab memiliki pengaruh negatif pada manajer dan perusahaannya (Burns dan Merchant, 1990). Namun, sikap The National Commission on Fraudulent Financial Reporting di Amerika Serikat menyimpulkan bahwa aktivitas manajemen laba dapat menyesatkan pengguna laporan keuangan dan kadangkala merupakan indikasi terjadinya tindakan ilegal yang serius dalam laporan keuangan dan aktivitas ini berarti pelanggaran terhadap kepercayaan masyarakat (Fischer dan Rosenzweig, 1995; Kaplan, 2001). Namun demikian, Healy (1985) dan Angelo (1988) memberikan bukti ternyata banyak manajer yang melakukan praktik manajemen laba.
Pada tahun 1986 the American Accounting Association (AAA) melalui Bedford Committee telah menekankan perlunya memasukkan studi mengenai persoalanpersoalan etis (ethical issues) dalam pendidikan akuntansi (McNair dan Milam, 1993). Selain itu the National Commission on Fraudulent Financial Reporting melalui Treadway Commission (1987) merekomendasikan untuk lebih diperluasnya cakupan etika dalam pendidikan akuntansi (Fischer dan Rosenzweig, 1995). Kerr dan Smith. (1995) menyatakan bahwa perilaku etis dan pendidikan merupakan hal yang kritis dalam masyarakat modern, dunia bisnis, dan profesi akuntansi. Ketika perilaku etis hilang dari dalam diri akuntan maka kredibilitas profesi akuntansi dalam bahaya.

Identifikasi Masalah
Banyak orang beranggapan bahwa manajemen laba merupakan tindakan buruk karena cenderung mereduksi reliabilitas informasi laporan keuangan, karena manajemen memiliki inside information yang bagi pihak luar sangat sulit diketahui maka memaksimalkan keuntungan dan angka laba bersih dengan tanpa merugikan pihak luar, adalah perilaku yang hampir ada. Masalahnya adalah tidak diberikan pengungkapan yang transparan secara menyeluruh tentang proses dan pertimbangan dalam menentukan laba, akibatnya, laporan keuangan dianggap masih memiliki keterbatasan mendasar sehingga belum memadai untuk dipakai dalam proses pengambilan keputusan, misalnya investasi (Salno, 1998).
Bruns dan Merchant (1990) melakukan survei atas sikap etis para manajer terhadap praktik manajemen laba. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa:
  1. Praktik manajemen laba dengan memilih metoda akuntansi secara signifikan menunjukkan lebih tidak bisa diterima secara etika dibandingkan dengan cara mengubah atau memanipulasi prosedur atau keputusan operasi.
  2. Menaikkan laba lebih tidak bisa diterima dan segi etika dibandingkan dengan menurunkan laba.
  3. Materialitas berpengaruh terhadap ethical judgment. Jika laba yang dimanipulasi jumlahnya kecil maka praktik ini bisa diterima secara etika dibandingkan dengan yang jumlahnya besar.
  4. Dampak terhadap perioda waktu berpengaruh terhadap ethical judgment. Praktik manajemen laba yang dilakukan pada akhir kuartal lebih bisa diterima secara etika dibandingkan dengan yang dilakukan pada akhir tahun.
  5. Metoda yang digunakan dalam manajemen laba juga berpengaruh terhadap ethical judgment. Menaikkan profit dengan cara memperpanjang masa kredit lebih tidak bisa diterima secara etika dibandingkan dengan cara menjual asset yang berlebih dan memberlakukan jam lembur untuk meningkatkan penjualan.
Hipotesis
Berdasar hasil telaah literatur tersebut maka dalam penelitian ini dirumuskan beberapa hipotesis nol (null hypotheses) sebagai berikut:
Ho 1 : Tidak ada perbedaan sikap etis antara akuntan dan pengguna jasa akuntan terhadap praktik manajemen laba apakah praktik tersebut menggunakan operating method atau accounting method.
Ho2: Tidak ada perbedaan sikap etis antara akuntan dan pengguna jasa akuntan terhadap praktik manajemen laba apakah praktik tersebut sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum atau tidak sesuai.
Ho3: Tidak ada perbedaan sikap etis antara akuntan dan pengguna jasa akuntan terhadap praktik manajemen laba apakah praktik tersebut menaikkan atau menurunkan laba.
Ho4:Tidak ada perbedaan sikap etis antara akuntan dan pengguna jasa akuntan terhadap praktik manajemen laba apakah laba yang dimanipulasi jumlahnya material atau tidak material.
Ho5: Tidak ada perbedaan sikap etis antara akuntan dan pengguna jasa akuntan terhadap praktik manajemen laba apakah praktik tersebut dilakukan pada akhir kuartal atau akhir tahun.
Ho6: Tidak ada perbedaan sikap etis antara akuntan dan pengguna jasa akuntan terhadap praktik manajemen laba apakah praktik tersebut untuk kepentingan jangka panjang perusahaan atau untuk kepentingan individu manajer.
Metode Penelitian
Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode survey dengan sampel 74 orang akuntan dan 69 orang pengguna jasa akuntan yang bekerja di kota Semarang dan Yogyakarta. Data diperoleh dengan cara meminta responden untuk mengisi kuesioner yang diberikan kepada mereka. Responden diminta memberikan sikap etis mereka atas praktik manajemen laba yang diskenariokan dalam kuesioner dengan menggunakan skala 1 (etis) sampai 5 (tidak etis). Alasan memilih akuntan karena pekerjaan mereka sangat berhubungan langsung dengan praktik manajemen laba. Sedangkan untuk kelompok pengguna jasa akuntan terdiri dari manajer, analis kredit, pegawai yanibbkerja di bidang keuangan, mahasiswa akuntansi strata satu dan strata dua. Pemahaman tersebut diperlukan untuk menjamin bahwa mereka memahami skenario yang dipaparkan dalam kuesioner sehingga jawaban mereka tidak asal-asalan.
Berdasar data yang diperoleh dari jawaban atas 17 skenario dalam penelitian ini, peneliti akan menguji hipotegs yang dirumuskan. Hipotesis dan item-item pengujiannya disajikan dalam tabel 1 berikut ini :
Tabel 1
Item-item kuisioner dan dimesi-dimensi yang diuji


Analisis Data dan Hasil
Alat analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis yang sudah dirumuskan adalah t-test dengan dengan tingkat kepercayaan 95%. Sebelum dilakukan uji hipotesis, data diuji dulu validitas dan reliabilitasnya. Uji validitas menggunakan uji.korelasi product moment antara masing-masing item pertanyaan dengan skor total. Sedangkan uji reliabilitas dilakukan dengan melihat cronbach alpha coefficient.
Statistik Deskriptif
Tabel 2 berikut ini menunjukkan rata-rata skor dan deviasi standar dari 143 responden pada setiap skenario.

Dari data dalam tabel 2 dapat disimpulkan bahwa, pertama tidak ada kesamaan penilaian terhadap item-item kuesioner. Kedua, adannya kisaran yang lebar dan deviasi standar yang cukup tinggi untuk semua skenario menunjukkan bahwa responden tidak memiliki kesepakatan dalam memberikan sikapnya.
Uji Reliabilitas dan Validitas
Hasil penelitian ini menunjukkan nilai Cronbach Alpha untuk seluruh skenario manajemen laba adalah 0,788 yang berarti instrumen yang digunakan dapat disimpulkan reliabel.
Sementara itu uji validitas dilakukan untuk menguji sah atau valid tidaknya suatu instrumen mengukur suatu konsep yang seharusnya diukur. Pengujian ini untuk melihat apakah (1) dimensi-dimensi yang ada dalam kuesioner tersebut benar-benar merupakan bagian dimensi manajemen laba dan (2) untuk melihat dimensi mana yang mempunyai korelasi paling besar atau paling kecil dengan praktik manajemen laba.

Dan pengujian yang sudah dilakukan didapatkan hasil seperti dalam tabel 3. Dan tabel tersebut dapat diketahui bahwa:
  1. Dimensi yang paling kuat adalah dimensi tipe manajemen laba (r = 1,000), hal ini disebabkan semua skenario masuk ke dalam dimensi tersebut. Sedangkan dimensi yang mempunyai korelasi paling kecil adalah tujuan (r = 0,558).
  2. Dimensi yang dianggap paling etis adalah melakukan manajemen laba dengan menggunakan metode operasi (2,513) dan yang dianggap paling tidak etis adalah melakukan manajemen laba dalam jumlah yang material (3,727).
Uji Hipotesis
Untuk menguji hipotesis tentang sikap etis antara antara akuntan dan non akuntan terhadap praktik manajemen laba dilakukan dengan uji paired samples t-test seperti yang tersaji dalam tabel 4.

Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa:
  1. Tidak ada perbedaan sikap etis yang signifikan antara akuntan dan pengguna jasa akuntan terhadap praktik manajemen laba antara pemakaian metode akuntansi atau metode operasi. Dengan demikian sikap etis antara kedua kelompok tersebut terhadap praktik manjemen laba tidak dipengaruhi oleh tipe manajemen laba. Kedua kelompok juga sepakat bahwa praktik manajemen laba dengan metode akuntansi clinilai tidak etis dibanding dengan metode operasi.
  2. Ada perbedaan sikap etis yang signifikan antara akuntan dan pengguna jasa akuntan terhadap praktik manajemen laba antara yang konsisten dengan Prinsip Akuntansi Berterima Umum atau tidak konsisten dengan Prinsip Akuntansi Berterima Umum. Artinya, sikap etis antara kedua kelompok tersebut terhadap praktik manajemen laba dipengaruhi oleh konsistensi atau inkonsistensi dengan Prinsip Akuntansi Berterima Umum.
  3. Ada perbedaan sikap etis yang signifikan antara akuntan dan pengguna jasa akuntan terhadap praktik manajemen laba dengan menaikkan atau menurunkan laba.
  4. Ada perbedaan sikap etis yang signifikan antara akuntan dan penggtina jasa akuntan antara praktik manajemen laba dalam jumlah yang material dan tidak material. Dengan demikian materilitas laba yang dimanipulasi berpengaruh terhadap sikap etis kedua kelompok responden tersebut. Praktik manajemen laba dalam jumlah yang material merupakan tindakan yang paling tidak etis.
  5. Ada perbedaan sikap etis yang signifikan antara akuntan dan pengguna jasa akuntan terhadap praktik manajemen laba yang dilakukan pada akhir kuartal atau akhir tahun. Hal ini berarti periode efek yang ditimbulkan oleh manajemen laba berpengaruh terhadap sikap etis kedua responden tersebut. Manajemen laba yang dilakukan pada akhir tahun dinilai lebih tidak etis dibanding dengan manajemen laba yang dilakukan pada akhir kuartal.
  6. Tidak ada perbedaan sikap etis yang signifikan antara akuntan dan pengguna jasa akuntan terhadap praktik manajemen laba baik untuk kepentingan jangka panjang perusahaan atau untuk kepentingan individu manajer. Hal ini berarti, apakah manajemen laba tersebut dilakukan untuk kepentingan jangka panjang perusahaan atau untuk kepentingan pribadi manajemen tidak mempengaruhi sikap etis akuntan dan pengguna jasa akuntan terhadap praktik manajemen laba. Manajemen laba yang dilakukan untuk tujuan kepentingan individu manajemen dinilai lebih tidak etis disbanding dengan manajemen laba yang dilakukan untuk tujuan kepentingan jangka panjang perusahaan.
Secara keseluruhan, hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kedua kelompok responden tersebut tidak sepakat atas semua dimensi praktik manajemen laba. Hasil penelitian ini mendukung penelitiannya Merchant dan Rockness (1994) yang menyatakan bahwa pasangan kelompok responden (general managers vs corporate staff, general managers vs controllers, corporate staff vs vs controllers, dan corporate staff vs auditors) mempunyai persamaan sikap etis terhadap praktik manajemen laba sedangkan pasangan kerompok responden (general managers vs auditors dan controllers vs auditors) mempunyai perbedaan sikap etis terhadap praktik manajemen laba.
Kesimpulan
Penelitian ini menguji sikap etis antara akuntan dengan non akuntan atas praktik manajemen laba. Dalam pengujian sikap etis tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan dari berbagai dimensi praktik manajemen laba yaitu: tipe manajemen laba, konsistensi terhadap prinsip akuntansi yang berterima umum, arah manajemen laba, materialitas laba, periode akibat, dan tujuan manajemen laba. Berdasarkan uji-t yang sudah dilakukan, didapatkan hasil sebagai berikut :
  1. Ada perbedaan sikap etis antara akuntan dan pengguna jasa akuntan terhadap dimensi konsistensi terhadap prinsip akuntansi yang berterima umum, arah manajemen laba, materialitas laba, dan periode akibat dalam praktik manajemen laba
  2. Tidak ada perbedaan sikap etis antara akuntan dan pengguna jasa akuntan terhadap dimensi tipe manajemen laba dan tujuan dalam praktik manajemen laba.

Sumber :