Sabtu, 02 Juni 2012

Jurnal Penyelesaian Sengketa Ekonomi


TUGAS REVIEW JURNAL


KELAS                                  : 2EB05
NAMA KELOMPOK          :    
  • Ade Irene Febri              (20210115)
  • Dimas Agung Prayogi      (22210019)
  • Levian                             (24210006)
  • Rezky Izhardhi N            (25210835)
  • Rina Rismawati                (25210972)


Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syari’ah Sebagai Sebuah Kewenangan
Baru Peradilan Agama
Oleh: Rifyal Ka’bah

ABSTRAK

               Hukum islam sebagai hukum yang hidup di indonesia telah berkembang dalam era ketergantungan. Pengembangan hukum islam menunjukan misalnya dalam hal yurisdiksi pengadilan islam. Keputusan pengadilan syariah berangkat dari fiqih, dan pelaksanaanya harus didukung oleh pengadilan negara. P3ara hakim dari pengadilan islam membimbing berdasarkan syariah tangan tradisional mereka tidak mendidik berdasarkan hukum  sekuler. selain itu, organisasi pengadilan islam tidak bawah mahkamah agung. Salah satu perubahan dari pengadilan islam baru-baru ini memperbesarnya yurisdiksi menurut UU No. 3 tahun 2006 khususnya mengenai penanganan kasus ekonomi islam di indonesia. Artikel berikut ini mencoba untuk menyelidiki yang merubah dan menantang pengadilan islam sebagai salah satu indonesiamodern masa depan.
                
PENDAHULUAN

                Hukum Islam sebagai sebuah hukum yang hidup di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup berarti dalam masa kemerdekaan, antara lain dapat dilihat dari kewenangan yang dimiliki oleh Peradilan Agama (PA) sebagai peradilan Islam di Indonesia. Dulunya, putusan PA murni berdasarkan fiqh para fuqaha’, eksekusinya harus dikuatkan oleh Peradilan Umum, para hakimnya hanya berpendidikan
Syari’ah tradisional dan tidak berpendidikan hukum, organisasinya tidak berpuncak ke Mahkamah Agung, dan Iain-lain. Sekarang keadaan sudah berubah, salah satu perubahan mendasar akhir-akhir ini adalah penambahan kewenangan PA dalam UU Peradilan Agama yang baru, antara lain bidang ekonomi Syari’ah. Tulisan ini membicarakan perubahan tersebut dan tantangan yang dihadapi PA di masa depan sebagai sebuah kekuasaan kehakiman yang modern di Indonesia.

Pembahasan

·         Ekonomi Syari’ah

                Perhatian kita sebagai hakim dan lembaga peradilan adalah terhadap ilmu hokum ekonomi dari sudut pandangan Islam atau lembaga keuangan dalam Islam. Yang dimaksud dengan kata syari’ah dalam ekonomi syari’ah sebenarnya adalah fiqh para fuqaha’. Hukum ekonomi atau lembaga keuangan syari’ah di Indonesia tampak sekali berhubungan dengan fiqh para fuqaha”. Di bidang perbankan syari’ah, misalnya, memang telah disinggung dalam beberapa pasal undang-undang seperti UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 dan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004. Namun belum ada undang-undanng bahkan hukum yang pasti hingga sekarang untuk ekonomi syari’ah ini .

·         Fatwa Dewan Syari’ah Nasional

                Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah sebuah institusi di bawah Majelis Ulama Indonesia yang dibentuk pada awal tahun 1999. Lembaga ini “memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha Bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syari’ah.”6 MUI dipilih barangkali karena lembaga inilah pertama kali yang melahirkan bank Syari’ah. Salah satu masalah dalam penerapan fatwa DSN adalah tentang sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh bank Syari’ah, terutama bila bank Syari’ah tertentu tidak berjalan sesuai dengan fatwa DSN dan DPS yang ada di setiap bank Syari’ah.

·         Revisi UU Peradilan Agama

Pasal 49 huruf (i) Revisi UUPA menyatakan bahwa PA bertugas dan berwenang. memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara dalam bidang ekonomi syari’ah.kegiatan usaha menurut prinsip syari’ah meliputi:
a. bank syari’ah;
b. lembaga keuangan makro syari’ah;
c. asuransi syari’ah;
d. reasuransi syari’ah;
e. reksadana syari’ah;
f. obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
g. sekuritas syari’ah;
h. pembiayaan syari’ah;
i. pegadaian syari’ah;
j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
k. bisnis syari’ah.
Pengelompokan ekonomi syari’ah seperti di atas sebenarnya tidak tepat. Huruf (b), (c), (d), (e), (f), (g) dan (h) revisi undang-undang tersebut, yaitu tentang waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq dan shadaqah, adalah juga bagian dari ekonomi syari’ah.
               

·         Pengalaman Badan Atbitrase Syari’ah Nasional

                Pengalaman Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) dalam menyelesaikan sengketa antara bank Syari’ah dan nasabahnya dapat dijadikan pelajaran bagi Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi Syari’ah di masa depan.
Sebuah hasil penelitian S3 ilmu hukum di Universitas Sumatera Utara menyimpulkan bahwa sengketa antara bank Syari’ah tidak murni diselesaikan berdasarkan prinsip Syari’ah (fiqh), tetapi juga mengikutsertakan pasal-pasal KUHPerdata. Hal itu terjadi karena tidak tersedianya hukum islam dan tenaga ahli yang menguasai hukum arbitrase islam.
Melihat kasus-kasus arbitrase Syari’ah yang diajukan kepada BASYARNAS, tampak dengan jelas bahwa persoalan inti adalah tentang akad atau kontrak antara penyedia dana sebagai investor, bank sebagai pengelola dana, dan nasabah sebagai pengguna dana, atau antara bank sebagai investor dan sekaligus juga sebagai pengelola dana di satu pihak dan nasabah sebagai pengguna dana di pihak lain. Kontrak yang paling umum dilakukan adalah akad miidhdrabah, akad musyarakah, akad murabohah dan Iain-lain yang selama ini diatur secara luas dalam fiqh berbagai mazhab. Tidak mengherankan bila akad pembiayaan tersebut dibuat berdasarkan dun hukum, yaitu liqh Islam sebagai syari’ah atau hukum Islam dan hokum perjanjian KUHPerdata warisan Belanda. Kemungkinan sengketa tersebut diatur berdarsakan hokum perjanjian dan pasa-pasal tersebut yang menjadi konstitusi bagi pihak yang terlibat dalam perjanjian.
Adanya akad atau kontrak sebagai dasar hukum ekonomi Syari’ah adalah untuk menghindari hal-hal yang dilarang Islam dalam transaksi ekonomi, terutama sekali adalah larangan riba, monopoli, wanprestasi dan Iain-lain.
Sejak zaman jahiliyah telah banyak penantang yang menyamakan antara transaksi jual-beli dan transaksi berdasarkan riba, tetapi Qur’an menyatakannya berbeda. Transaksi pertama dibolehkan, tetapi yang kedua diharamkan. Larangan tersebut antara lain karena sahamnya dalam meningkatkan sifat egoisme dalam diri manusia, memperjarak jurang antara orang kaya dan miskin dan lain-lain.12 Untuk menghindari transaksi-transaksi yang dilarang Islam, maka transaksi keuangan syari’ah berdasarkan kontrak bagi hasil dengan nisbah yang disepakti dan sama-sama menanggung resiko untung atau rugi.


KESIMPULAN

 Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal seperti berikut:
A.      Ekonomi Syari’ah di luar Indonesia terkenal dengan nama ekonomi Islam, yaitu ekonomi berdasarkan prinsip-prinsip Syari’ah yang berbeda dari ekonomi konvensional yang berkembang di dunia dewasa ini yang hanya berdasarkan nilai-nilai sekular yang terlepas dari agama.
B.      dibahas dalam dua disiplin ilmu, yaitu ilmu ekonomi Islam dan ilmu hukum ekonomi Islam. Ekonomi Syari’ah yang menjadi salah satu kewenangan baru Peradilan Agama berdasarkan revisi UU PA. Kewenangan tersebut menyangkut kewenangan mengadili 11 jenis perkara yang dijelaskan oleh pasal 49 huruf (I).
C.      belum ada undang-undang khusus yang mengatur tentang hukum acara dan hukum materiil bank Syari’ah selain beberapa pasal UU perbankan dan Bank Indonesia serta PB1 dan SEBI. Peraturan yang ada berdasarkan fiqh parafu qaha” dan sebagian kecilnya terutama masalah perbankan yang mengandalkan fatwa terbitan DSN.
D.      Melihat kasus yang diajukan Badan Arbitrase Syari’ah Nasional  (BASYARNAS) sengketa antara bank syari’ah dan nasabah, semuanya berdasarkan akad atau kontrak antara kedua belah pihak, baik akad mudharabah, musyarakat atau murabahah. Dalam penyelesaiannya menggunakan dua hukum yang berbeda antara DSN dan pasal-pasal KUH perdata. Hal itu dilakukan karena ketiadaan peraturan undang-undang tentang perbankan syari’ah, sebelum adanya undang-undang ekonomi syari’ah secara khusus maka kemungkinan besar para hakim PA akan mengadili perkara ekonomi syari’ah berdasarkan hukum perjanjian, baik berdasarkan fiqh para fuqaha’ maupun KUH Perdata.

REFERENSI
http://journal.uii.ac.id/index.php/JHI/article/viewFile/203/192

Tidak ada komentar:

Posting Komentar