Urgensi
Hukum Perikatan Islam dalam
Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syariah
Oleh:
Achmad Fauzi1
Abstract
Artikel
ini ditujukan untuk mengawasi gugatan hukum syariah ekonomi melalui litigasi di
pengadilan dengan menganalisis kemampuan hakim dalam gugatan ini. Masalah ini
penting karena setiap kegiatan ekonomi syariah didasarkan pada apa isi kontrak
(akad). Artikel analisis hukum keterlibatan berdasarkan hukum atau sipil
Indonesia Borgelijk Wetboek (BW), hukum konvensi berdasarkan kompilasi hukum
ekonomi syariah, pengadilan syariah otoritas, dan langkah-langkah solusi
ekonomi syariah gugatan melalui litigasi. Ini menyimpulkan bahwa seorang hakim
harus mampu menggali keadilan material, termasuk dalam hukum perdata sehingga
keputusannya bertujuan untuk reformasi dan penemuan hukum (rechtsvinding).
Sebagai yurisdiksi baru untuk pengadilan syariah, gugatan ekonomi syariah
memiliki instrumen hukum masih beberapa yang menyiratkan perlunya seorang hakim
untuk mengawasi nilai-nilai keadilan yang hidup pada manusia. Perumusan
keputusan hukum syariah ekonomi tidak harus dipisahkan dari hukum syariah
keterlibatan.
1.
Pendahuluan
Ada dua opsi yang ditempuh dalam
penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah, yakni melalui proses litigasi di
pengadilan atau non litigasi. Pengadilan Agama adalah lembaga kekuasaan
kehakiman yang memiliki kewenangan absolut untuk memeriksa dan mengadili
sengketa ekonomi syariah. Hal ini sesuai dengan asas personalitas keislaman dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 49 huruf i Undang-Undang
No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan Pasal 55 angka 1 Undang-Undang No.
21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah). Sedangkan jalur non litigasi meliputi
bentuk alternatif penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution) dan
arbitrase. Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli (Pasal 1 angka
10 UU No.30 Tahun 1999).
2.
Hukum
Perikatan dalam Borgelijk Wetboek (BW)
Secara etimologi Undang-Undang tidak
menjelaskan apa yang dimaksud daripada perikatan. Begitu pula Code Civil
Perancis maupun Borgelijk Wetboek (BW) Belanda yang merupakan concodantie BW
kita. Secara etimologi perikatan (Verbintenis) berasal dari kata kerja
“verbinden” yang artinya mengikat (ikatan atau hubungan). Verbintenis bisa
disebut dengan istilah perikatan, perutangan, atau perjanjian. Perikatan bisa
diartikan juga setuju atau sepakat, dari arti kata overeenkomen.
Menurut
terminologi, perikatan merupakan suatu hubungan hukum yang bersifat harta
kekayaan antara sejumlah terbatas subyek hukum. Sehubungan dengan itu,
seseorang atau beberapa orang dari padanya (debitur atau para debitur)
mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu atas sesuatu
prestasi terhadap pihak yang lain (kreditur atau para kreditur). Jadi
unsur-unsur perikatan meliputi hubungan hukum, kekayaan, pihak-pihak dan
prestasi.
Apabila
debitur tidak melakukan apa yang telah diperjanjikan, maka ia dikatakan
melakukan wanprestasi. Kreditur dapat menuntut pemenuhan parikatan, pemenuhan
perikatan dengan ganti rugi, ganti rugi, pembatalan persetujuan timbale balik,
pembatalan dengan ganti rugi, dan pembatalan debitur yang dituduh lalai.
Seorang
debitur yang lalai dapat mengajukan pembelaan diri dengan mengajukan beberapa
alasan yang membebaskan hukum, yaitu keadaan memaksa (overmacht/force majure),
kreditur juga melakukan kelalaian (exception nonadimpleti contractus),
kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (rechtsverweking).
Jika
hukum benda memiliki suatu sistem tertutup, maka hukum perikatan menganut
sistem terbuka (Aanvullenrecht). Artinya, para pihak boleh membuat
aturan-aturan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal perjanjian. Akan tetapi
jika mereka tidak mengatur sendiri, berarti mengenai perkara tersebut, mereka
akan tunduk kepada undang-undang. Sistem terbuka yang mengandung asas kebebasan
berkontrak disimpulkan dari pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi “Semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya” (pacta sunt servanda).
Sistem
terbuka juga mengandung pengertian bahwa perjanjian-perjanjian khusus yang
diatur dalam undang-undang hanyalah merupakan perjanjian yang paling terkenal
saja dalam masyarakat pada waktu KUHP dibentuk. Dalam hukum perjanjian juga
berlaku asas konsensualisme, yakni pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang
timbul sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan kata lain,
perjanjian itu sudah sah dan mengikat apabila telah tercapai kesepakatan
mengenai hal yang pokok dari perjanjian itu. Misalnya, mengenai barang dan
harga dalam jual beli.
Asas
konsensualisme tersebut lazimnya disimpulkan dari ketentuan pasal 1320 KUHPer
yang berbunyi “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat;
kesepakatan mereka yang mengikat dirinya (the consent of those who bind themselves),
kecakapan untuk membentuk suatu perikatan (the capability to make an agreement),
suatu hal tertentu (a particular object), suatu sebab yang halal (a
lawful cause/oorzaak)”. Syarat “kata sepakat dan cakap” disebut
sebagai syarat subjektif yang apabila tidak dipenuhi mengakibatkan perjanjian
dapat dibatalkan (vernietigbaar). Sedangkan syarat “suatu hal tertentu dan
sebab yang halal” disebut sebagai syarat objektif yang apabila tidak dipenuhi
menimbulkan perjanjian batal demi hukum (nietig).
3. Hukum
Perjanjian dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
Perjanjian
dalam bahasa Arab lazim disebut dengan akad. Dalam pasal 20 angka 1 KHES
dirumuskan bahwa akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua
pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.
Pada pasal 22 disebutkan rukun akad terdiri atas; pihak yang melakukan akad, objek
akad, tujuan pokok akad, dan kesepakatan.
Pihak
yang berakad disebut juga subjek hukum. Dalam pasal 1 angka 2 subjek hukum
adalah orang perorangan, persekutuan atau badan usaha yang berbadan hukum atau
tidak berbadan hukum yang memiliki kecakapan hokum untuk mendukung hak dan
kewajiban. Kategorinya dalam pasal 2 ayat 1 adalah minimal sekurang-kurangnya
berumur 18 tahun atau pernah menikah. Jika terbukti dalam persidangan pemohon
tidak memenuhi criteria, maka menurut pasal 4 harus mendapat perwalian. Selain
mereka yang dibawah umur, pasal dalam KHES juga menentukan perwalian kepada
orang dewasa yang tidak cakap hukum.
Pasal
6 KHES menentukan kewenangan pengadilan dalam kaitan dengan perwalian. Ayat 1,
pengadilan berwenang menetapkan perwalian bagi orang yang dipandang tidak cakap
melakukan perbuatan hukum. Ayat 2, pengadilan berwenang menetapkan orang untuk
bertindak sebagai wali sebagaimana dimaksud pada ayat 1. kemudian pada pasal 7
disebutkan bahwa pengadilan dapat menetapkan orang yang berutang berada dalam
perwalian berdasarkan permohonan orang yang berpiutang. Kata-kata pengadilan
dalam ketentuan di atas harus dibaca Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah.
KHES
menggunakan istilah Muwalla untuk menyebut orang yang tidak cakap
melakukan perbuatan hukum dan ditetapkan dalam perwalian. Lebih lanjut pasal 9
menjelaskan bahwa muwalla dapat melakukan perbuatan hukum yang menguntungkan
dirinya, meskipun tidak mendapatkan izin wali; tidak dapat melakukan suatu
perbuatan hukum yang merugikan dirinya, meskipun atas izin wali; keabsahan
perbuatan hukum muwalla atas hak kebendaannya yang belum jelas akan
menguntungkan atau merugikan dirinya bergantung pada izin wali; apabila terjadi
perselisihan antara muwalla dengan wali, muwalla dapat mengajukan permohonan ke
pengadilan untuk ditetapkan bahwa yang bersangkutan memiliki kecakapan
melakukan perbuatan hukum.
Rukun
kedua dari akad adalah objek akad. Pasal 24 KHES menyebut bahwa objek akad
adalah amwal atau jasa yang dihalalkan dan dibutuhkan oleh masingmasing
pihak. Pengertian amwal pada pasal 1 angka 9 adalah benda yang dapat
dimiliki, dikuasai, diusahakan dan dialihkan, baik benda berwujud maupun
abstrak, baik benda terdaftar maupun tidak terdaftar, benda bergerak atau tidak
bergerak, dan hak yang mempunyai nilai ekonomis. Dalam pengertian tersebut
dapat dikemukakan macam perbedaan pengertian benda antara lain;
1.
Benda berwujud dan tidak berwujud
a.
Benda berwujud adalah benda yang dapat diindera (pasal 1 angka 10).
b.
Benda tidak berwujud adalah segala sesuatu yang tidak adapat diindera (pasal 1
angka 11).
2.
Benda bergerak dan tidak bergerak
a.
Benda bergerak adalah segala sesuatu yang dapat dipindahkan dari suatu tempat
ke tempat lain (pasal 1 angka 12).
b.
Benda tidak bergerak adalah segala sesuatu yang tidak dapat dipindahkan dari
suatu tempat ke tempat lain yang menurut sifatnya dietntukan oleh Undang-Undang
(pasal 1 angka 13).
3.
Benda terdaftar dan tidak terdaftar
a.
Benda terdaftar adalah segala sesuatu yang kepemilikannya ditentukan
berdasarkan warkat yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang (pasal 1 angka 14) .
b.
Benda tidak terdaftar adalah segala sesuatu yang kepemilikannya ditentukan
berdasarkan alat bukti pertukaran atau pengalihan di antara pihak-pihak (pasal
1 angka 15).
Selain
itu dalam pasal 1 angka 9 disebutkan juga bahwa amwal adalah hak yang memiliki
nilai ekonomis. Uang dan surat berharga masuk dalam ketegori ini. Hanya saja
uang bukanlah sebagai komoditas, melainkan sebagai alat pembayaran yang sah. Rukun
ketiga dari akad adalah tujuan pokok akad. Ketentuan khusus tentang hal ini disebutkan
pada pasal 25 KHES yang menyatakan bahwa akad bertujuan memenuhi kebutuhan
hidup dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang melakukan akad. Namun
tidak semua tujuan dibenarkan karena tujuan yang dibenarkan hanyalah untuk akad
yang sah. Pasal 28 ayat (1) menyatakan akad yang sah adalah akad yang terpenuhi
rukun dan syaratnya. Akad tidak sah apabila bertentangan dengan syariat Islam,
peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, kesusilaan (pasal 26 KHES).
Pasal
27 dan 28 disebutkan bahwa hukum akad terbagi dalam 3 kategori;
1.
Akad yang sah adalah akad yang terpenuhi rukun dan syaratnya;
2.
Akad yang fasad adalah akad yang terpenuhi rukun dan syaratnya namun terdapat
hal lain yang merusak akad tersebut karena pertimbangan maslahat;
3.
Akad yang batal adalah akad yang kurang syarat dan rukunnya.
Rukun
akad yang keempat adalah kesepakatan. Dalam KHES tidak ditemukan aturan tentang
kesepakatannya sendiri, hanya diatur cacatnya sebuah kesepakatan, yakni apabila
dalam akad tersebut mengandung unsur ghalat (khilaf), ikrah (paksaan), taghrir
(tipuan), dan gubhn (penyamaran). Berdasarkan hal ini ada 4 hal yang
menyebabkan cacatnya sebuah kesepakatan;
1.
Ghalath atau khilaf
Pasal
30 menyatakan kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu akad kecuali khilaf
itu terjadi mengenai hakikat yang menjadi pokok perjanjian;
2.
Ikrah atau paksaan
Pasal
31 menyatakan paksaan mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu bukan
berdasar pilihan bebasnya dan pasal 32 menyebutkan bahwa paksaan dapat
menyebabkan batalnya akad apabila pemaksa mampu untuk melaksanakannya, pihak
yang dipaksa memiliki persangkaan yang kuat bahwa pemaksa akan segera
melaksanakan apa yang diancamkannya apabila tidak patuh pada perintah pemaksa,
yang diancamkan benar-benar menekan kondisi jiwa orang yang diancam, ancaman
akan dilaksanakan secara serta merta, paksaan bersifat melawan hukum.
3.
Taghrirat atau tipuan
Dalam
pasal 33 KHES disebutkan bahwa penipuan adalah pembentukan akad melalui tipu
daya. Dengan dalih untuk kemaslahatan, tetapi kenyataannya untuk memenuhi
kepentingannya sendiri. Pasal 34 menyatakan bahwa penipuan merupakan alasan
pembatalan suatu akad.
4.
Gubhn atau penyamaran
Pasal
35 KHES menegaskan penyamaran sebagai keadaan yang tidak imbang antara prestasi
dengan imbalan prestasi dalam suatu akad.
Abdul
Kadir Muhammad menyatakan bahwa faktor yang memengaruhi berlakunya perjanjian
adalah karena kekeliruan, perbuatan curang, pengaruh tidak pantas, dan
ketidakcakapan dalam membuat perjanjian. Hal penting lain yang perlu
diperhatikan adalah berkenaan dengan asas akad.
Pasal
21 menyatakan bahwa akad dilakukan berdasar 11 asas:
a.
Sukarela/ikhtiyari (setiap akad dilakukan berdasarkan kehendak para pihak dan bukan
karena keterpaksan);
b.
Menepati janji/amanah (setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak);
c.
Kehati-hatian/ikhtiyati (setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang matang);
d.
Tidak berubah (setiap akad memiliki tujuan yang jelas dan terhindar dari spekulasi);
e.
Saling menguntungkan (setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan para
pihak sehingga terhindar dari manipulasi);
f.
Kesetaraan/taswiyah (para pihak yang melaksanakan akad memiliki kedudukan yang
setara, memiliki hak dan kewajiban yang simbang);
g.
Transparansi (akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak secara\ terbuka);
h.
Kemampuan (akad dilakukan sesuai kemampuan para pihak);
i.
Kemudahan/taisir (akad memberi kemudahan bagi masing-masing pihak untuk melaksanakannya);
j.
Itikad baik (akad dilaksanakan dalam rangka menegakkan kemaslahatan);
k.
Sebab yang halal (akad tidak bertentangan dengan hukum).
Perjanjian
yang tidak dilaksanakan dengan itikad baik sering disebut dengan wanprestasi
atau ingkar janji. Dalam pasal 36 KHES dikatakan bahwa pihak dikategorikan
melakukan ingkar janji apabila tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk
melakukannya, melaksanakan apa yang dijanjikan namun tidak sebagaimana yang
dijanjikan, melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat, melakukan sesuatu
yang menurut perjanjian tidak dibolehkan. Pihak yang ingkar janji menurut pasal
38 KHES dapat dijatuhi sanksi berupa pembayaran ganti rugi, pembatalan akad,
peralihan resiko, denda dan pembayaran biaya perkara. Khusus mengenai
pembayaran ganti rugi, pasal 39 KHES menyatakan bahwa pembayaran ganti rugi
dapat dijatuhkan apabila pihak yang melakukan wanprestasi setelah dinyatakan
ingkar janji tetap melakukan ingkar janji, sesuatu yang harus diberikan atau
dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah
dilampaukannya, pihak yang melakukan ingkar janji tidak dapat membuktikan bahwa
perbuatan ingkar janjinya tidak dibawah paksaan.
4. Kewenangan
Absolut Pengadilan Agama terhadap Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
Pengadilan
Agama memiliki kewenangan mutlak untuk menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah.
Hal ini didasarkan atas ketentuan Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 yang menyatakan
bahwa: “Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf, zakat, infaq,
shadaqah, dan ekonomi syari’ah.”. Sebelum diundangkannya UU No.3
Tahun 2006 tersebut memang belum pernah ada peraturan perundang-undangan yang
secara khusus melimpahkan kewenangan kepada pengadilan tertentu untuk memeriksa
dan mengadili perkara ekonomi syari’ah.
Meskipun
Pengadilan Agama telah diberi kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan
menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah, perangkat hukum materiil maupun
perangkat hukum formil perlu terus dibenahi. Lahirnya UU No. 21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah dan PERMA No. 02 tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES) tidak serta merta mencukupi kebutuhan hakim dalam
melakukan tugas-tugas barunya, sehingga perlu dilakukan terobosan hukum guna
memenuhi perkembangan kebutuhan hokum masyarakat.
Terobosan
tersebut adalah pertama: dengan melakukan penafsiran argumentum per
analogian (analogi), yakni dengan memperluas berlakunya peraturan
perundangundangan yang mengatur tentang kegiatan ekonomi pada umumnya
terhadap kegiatan ekonomi syari’ah karena adanya persamaan-persamaan
antara keduanya; kedua: dengan menerapkan asas lex posterior derogat
legi apriori, yakni bahwa hokum yang baru mengalahkan hukum yang
lama. Dengan demikian, maka ketentuanketentuan hukum lama yang dahulu
tidak berlaku pada Pengadilan Agama menjadi berlaku karena adanya
kesamaan-kesamaan antara keduanya dan aturan-aturan yang berkaitan
dengan ekonomi syari’ah yang dahulu bukan menjadi kewenangan Pengadilan Agama
maka sekarang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dengan adanya UU No.3 Tahun
2006, sepanjang berkenaan dengan ekonomi syari’ah.
Diantara
peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan ekonomi adalah UU No.30
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) dan UU
No.4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan. Melalui
penafsiran argumentum per analogian (analogi), maka ketentuan UU No.30
Tahun 1999 dan UU No.4 Tahun 1998 tersebut diberlakukan pada Pengadilan Agama.
Kata-kata ‘Pengadilan Negeri’ atau ‘peradilan umum’ dalam Undang-Undang
tersebut dapat diberlakukan pada ‘Pengadilan Agama’ atau ‘peradilan agama’
sepanjang menyangkut ekonomi syari’ah.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 jis UU No.30 Tahun 1999 dan UU No.4 Tahun
1998, maka kewenangan Pengadilan Agama dalam menangani perkara ekonomi syari’ah
ini meliputi:
1.
Menunjuk arbiter dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai
pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan
arbiter (Pasal 13-15 UU No.30 Tahun 1999);
2.
Memutus hak ingkar yang diajukan oleh para pihak atau salah satu dari mereka
terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan Agama (Pasal 22-25 UU
No.30 Tahun 1999);
3.
Mendaftar keputusan Basyarnas yang harus didaftarakan dalam tempo 30 hari sejak
putusan diucapkan (Pasal 59 UU No.30 Tahun 1999);
4.
Melaksanakan keputusan badan alternatif penyelesaian sengketa (ADR) dan
keputusan Basyarnas melalui eksekusi paksa manakala diperlukan (Pasal 59-63 UU
No.30 Tahun 1999). Keputusan tersebut dapat dieksekusi oleh Pengadilan Agama
manakala telah terdaftar sebelumnya di Kepaniteraan Pengadilan Agama selambat-lambatnya
30 hari setelah penandatanganan keputusan tersebut (Pasal 6 ayat (7) UU No.30
Tahun 1999). Apabila ketentuan ini tidak diindahkan maka keputusan tersebut
tidak dapat dieksekusi (Pasal 59 ayat (4) UU No.30 Tahun 1999);
5.
Menyatakan pailit debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak
membeyar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih (Pasal
1 ayat (1) UU No.4 Tahun 1998);
6.
Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah (Pasal 49 UU
No.3 Tahun 2006).
5. Langkah
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui Litigasi
Proses
penyelesaian perkara ekonomi syari’ah melalui jalur litigasi dilakukan dengan
terlebih dahulu memeriksa apakah syarat administrasi perkara telah tercukupi
atau belum. Administrasi perkara ini meliputi berkas perkara yang di dalamnya
telah ada panjar biaya perkara, nomor perkara, penetapan majelis hakim, dan
penunjukan panitera sidang. Apabila syarat tersebut belum lengkap maka berkas
dikembalikan ke kepaniteraan untuk dilengkapi, apabila sudah lengkap maka hakim
menetapkan hari sidang dan memerintahkan kepada juru sita agar para pihak
dipanggil untuk hadir dalam sidang yang waktunya telah ditetapkan oleh hakim
dalam surat Penetapan Hari Sidang (PHS). Hakim memeriksa syarat formil perkara
yang meliputi kompetensi dan kecakapan penggugat, kompetensi (kewenangan)
Pengadilan Agama baik secara absolut maupun relatif, ketepatan penggugat
menentukan tergugat (tidak salah menentukan tergugat), surat gugatan tidak
obscuur, perkara yang akan diperiksa belum pernah diputus oleh pengadilan
dengan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (tidak ne bis in idem),
tidak terlalu dini, tidak terlambat, dan tidak dilarang oleh undang-undang
untuk diperiksa dan diadili oleh Pengadilan. Apabila ternyata para pihak telah
terikat dengan perjanjian arbitrase, maka Pengadilan Agama tidak berwenang
memeriksa dan mengadilinya (Pasal 3 UU No.30 Tahun 1999). Apabila syarat formil
telah terpenuhi berarti hakim dapat melanjutkan untuk memeriksa pokok perkara.
Dalam persidangan ini, tugas pertama dan utama hakim adalah berusaha
mendamaikan kedua belah pihak sesuai dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang
mediasi. Apabila tercapai perdamaian, maka hakim membuat akta perdamaian.
Apabila tidak dapat dicapai perdamaian maka pemeriksaan dilanjutkan ke tahap
berikutnya. Hakim melakukan konstatiring terhadap dalil-dalil gugat dan
bantahannya melalui tahap-tahap pembacaan surat gugatan, jawaban tergugat,
replik, duplik, dan pembuktian. Hakim melakukan kualifisiring melalui kesimpulan
para pihak dan musyawarah hakim. Hakim melakukan konstituiring yang dituangkan
dalam surat putusan.
Dalam
memeriksa dan mengadili tingkat pertama sengketa ekonomi syariah, hukum
perikatan Islam memang memiliki kedudukan penting. Sebab, segala bentuk
peristiwa hukum mengenai kegiatan ekonomi syariah diawali dengan akad yang
memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu
perjanjian. Tanpa menguasai hukum perikatan Islam, mustahil hakim dapat memutus
dan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah dengan benar dan adil.
Ekonomi
syariah merupakan yurisdiksi baru Pengadilan Agama. Istilah ekonomi syariah
merupakan hal spesifik di Indonesia karena istilah tersebut hamper tidak
dikenal di negara-negara Islam lainnya. Di banyak negara dan di lingkungan
akademik dikenal dengan istilah “Ekonomi Islam” atau “Islamic Economic” sebagai
padanan dari istilah Arab “al-Iqtishadi al-Islami”.
Ekonomi
syariah dapat didefinisikan perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan
menurut prinsip syariah, antara lain meliputi bank syariah, lembaga keuangan
mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah,
obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas
syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun syariah, bisnis
syariah dan lain-lain.
Dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246 dijelaskan bahwa yang
dimaksud asuransi atau pertanggungan adalah “suatu perjanjian (timbal balik),
dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung,
dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya, karena
suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang
mungkin akan dideritanya, karena suatu peristiwa tak tentu (onzeker vooral).”
1.
Bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan
dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang
beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah. Menurut pasal 1 angka 7
Undang-Undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, menerangkan bahwa
Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip
syariah.
2.
BMT sebagai lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil dengan berlandaskan
syariah terdiri dari 2 istilah yakni baitul maal dan baitut tamwil.
Baitul maal lebih mengarah pada usaha pengumpulan dan penyaluran dana
nonprofit (ZIS). Baitut tamwil mengarah pada usaha pengumpulan dan
penyaluran dana komersial. Kegiatan utama dari lembaga ini adalah
menghimpun dana dan mendistribusikan kembali kepada anggota dengan imbalan bagi
hasil atau mark-up/margin (sesuai syariah). Prinsip dan mekanismenya hampir
sama dengan perbankan syariah hanya skala produk dan jumlah pembiayaannya terbatas.
Latar belakang lahirnya BMT karena adanya kemiskinan massif, perbankan belum
bisa akses ke masyarakat miskin, mayarakat miskin mendapatkan sumber dana
mahal, lembaga/badan usaha yang ada belum sesuai dengan syariah, pemberdayaan
masyarakat muslim melalui lembaga masjid, pembinaan pengembangan usaha
masyarakat.
3.
Asuransi menurut UU RI No. 2 th. 1992 tentang Usaha Perasuransian, yang
dimaksud dengan asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak
atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung,
dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung
karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung,
yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu
pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang
dipertanggungkan.
Sedangkan
pengertian asuransi syariah menurut fatwa DSN-MUI, yang lebih dikenal dengan ta’min,
takaful, atau tadhamun adalah usaha saling melindungi dan
tolong-menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam
bentuk aset dan atau tabarru memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah .
4.
Reksadana syariah adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari
masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek
(saham, obligasi, valuta asing, atau deposito) oleh Manajer Investasi yang
pengelolaan dan kebijakan investasinya mengacu pada syariat Islam. Manajer
Investasi, dengan aqad Wakala, akan menjadi wakil dari Investor untuk
kepentingan dan atas nama Investor. Sedangkan Reksa Dana Syariah akan bertindak
dalam aqad Mudharabah sebagai Mudharib yang mengelola dana/harta milik bersama
dari para Pemilik Harta. Sebagai bukti penyertaan Pemilik Dana akan mendapat
Unit Penyertaan dari Reksa Dana Syariah. Tetapi Reksa Dana Syariah sebenarnya
tidak bertindak sebagai Mudharib murni karena Reksa Dana Syariah akan menempatkan
kembali dana ke dalam kegiatan Emiten melalui pembelian Efek Syariah. Dalam hal
ini Reksa Dana Syariah berperan sebagai Shahibul Mal dan Emiten berperan
sebagai Mudharib. Oleh karena itu hubungan ini disebut sebagai ikatan Mudharaba
Bertingkat. Dalam kedua situasi tersebut Manajer Investasi akan memberikan jasa
secara langsung atau tidak langsung kepada Investor yang ingin melakukan
investasi mengikuti prinsip Syariah. Manajer Investasi juga harus mampu
melakukan kegiatan pengelolan yang sesuai dengan Syariah. Sehingga diperlukan
adanya panduan mengenai norma-norma yang harus dipenuhi oleh Manajer Investasi
agar investasi dan hasilnya tidak melanggar ketentuan Syariah, termasuk
ketentuan yang berkaitan dengan gharar dan maysir. Produk reksadana meliputi danareksa
syariah yang bertujuan untuk memperoleh pertumbuhan investasi melalui investasi
saham secara syariah Islam dan danareksa syariah berimbang yang bertujuan untuk
memperoleh hasil investasi yang berkelanjutan dengan tingkat diversifikasi yang
tinggi secara syariah Islam.
5.
Obligasi syariah merupakan suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan
prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang
mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah
berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat
jatuh tempo. Tentang obligasi syariah diatur dalam bab XXIV pasal 604 sampai
dengan 607 KHES. Di samping itu ada pula obligasi syariah mudharabah yang
diatur dalam bab XXI pasal 574 sampai dengan 579 KHES. Sumber hukum obligasi
syariah dapat ditilik dalam Firman Allah Swt., dalam :
QS al-Maidah [5]: 1
Hai orang yang beriman!
Penuhilah aqad-aqad itu (QS al-Maidah [5]: 1)
QS al-Israa [17]: 34
… dan penuhilah janji,
sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. (QS. Al-Israa
[17]: 34).
QS al-Baqarah [2]: 275
Orang-orang yang makan
(mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orangyang
kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual
beli itu sama dengan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan
dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah [2]: 275).
6.
Dana pensiun syariah Sunduq mu’asyat taqa’udi atau dana pensiun syariah adalah
badan usaha yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat
pensiun berdasar prinsip syariah (pasal 20 angka 39 KHES). Hal ini diatur dalam
bab XXIX Pasal 626 sampai dengan 673 KHES.
6.
Penutup
Hakim
pada prinsipnya tidak semata-mata mencari dan menemukan kebenaran. Dalam
perkara perdata, hakim harus mampu menggal kebenaran materill. Sehingga
keputusan yang dihasilkan mengarah kepada pembaharuan penemuan hokum yang di
bentuk berdasarkan metode penafsiaran
dan kontruksi hokum. Sengketa ekonomi syariah adalah yuridikisa baru
bagi Peradilan Agama, sehingga hakim perlu menggali nilai-nilai keadilan yang
hidup dalam masyarakat. Keputusan terhadap sengketa ekonomi syariah tidak lepas
dari hukum perikatan Islam. Karena berbagai kegiatan usaha di bidang ekonomi
syariah di awai dengan perjanjian dengan konsekuensi para pihak mematuhi dan
mengikatkan diri terhadap isi perjanjiian tersebut.
Daftar Pustaka
- Abdul Kadir
Muhammad (1986), Hukum
Perjanjian. Bandung:
Alumni.
- Abdurrahman
(2008), Beberapa
Catatan Sekitar Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Dalam Buku Kenangan Berjudul Bagir Manan Ilmuwan dan Penegak
Hukum (Kenangan Sebuah Pengabdian). Jakarta: Mahkamah Agung RI.
- Dewan
Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (2001), Fatwa Dewan Syariah Nasional No:
21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Jakarta.
- Muhammad
Muslehuddin (1999). Insurance
and Islamic Law,
Penerj: Burhan
- Wirasubrata,
Menggugat
Asuransi Modern: mengajukan suatu alternatif baru dalam perspektif hukum
Islam. Jakarta
: Lentera.
- Muhamad
Nadratuzzaman Hosen dan AM Hasan Ali (2006), dalam makalahnya berjudul Kapita Selekta Asuransi Syariah:
Telaah Umum Tentang Asuransi Syariah di Indonesia. Disampaikan dalam acara Seminar dan Lokakarya
Mencari Format Ideal Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah diselenggarakan oleh
Tim Penyusun Kompilasi Ekonomi Syariah Mahkamah Agung RI pada tanggal 20
November 2006 di Hotel Grand Alia Cikini.
- Mustafa
Ahmad Zarqa (1968), al-madkhal
al-fiqh al-‘am.
Beirut: Dar al-Fikr.
- Peraturan
Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2008 tentang Mediasi. www.badilag.net
- Peraturan
Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah. www.badilag.net
- Undang-Undang
No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. www.badilag.net
- Undang-Undang
No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
www.badilag.net
Sumber :
Nama Kelompok :
- Ade Irene Febri (20210115)
- Dimas Agung Prayogi (22210019)
- Levian (24210006)
- Rezky Izhardhi N (25210835)
- Rina Rismawati (25210972)
Kelas :
2EB05
Tidak ada komentar:
Posting Komentar